Selasa, 04 Maret 2008

kehalalan bisnis MLM

The Islamic Food and Nutrition of America (IFANCA) telah mengeluarkan edaran tentang produk MLM halal dan dibenarkan oleh agama yang diteken langsung oleh M. Munir Chaudry, Ph.D, selaku Presiden IFANCA. Dalam edarannya, IFANCA mengingatkan umat Islam untuk meneliti dahulu kehalalan suatu bisnis MLM sebelum bergabung ataupun menggunakannya. Yaitu, dengan mengkaji aspek:
1. Marketing Plan-nya, apakah ada unsur skema piramida atau tidak. Kalau ada unsur piramida yaitu distributor yang lebih duluan masuk selalu diuntungkan dengan mengurangi hak distributor belakangan sehingga merugikan down line di bawahnya, maka hukumnya haram.
2. Apakah perusahaan MLM, memiliki track record positif dan baik. Ataukah tiba-tiba muncul dan misterius, apalagi yang banyak kontroversinya.
3. Apakah produknya mengandung zat-zat haram ataukah tidak, dan apakah produknya memiliki jaminan untuk dikembalikan atau tidak.
4. Apabila perusahaan lebih menekankan aspek targeting penghimpunan dana dan menganggap bahwa produk tidak penting atau hanya sebagai kedok, apalagi uang pendaftarannya cukup besar nilainya, maka patut dicurigai sebagai arisan berantai (money game) yang menyerupai judi.
5. Apakah perusahaan MLM menjanjikan kaya mendadak tanpa bekerja ataukah tidak demikian.
Selain kriteria penilaian di atas perlu diperhatikan pula hal-hal berikut:
1. Transparansi penjualan dan pembagian bonus serta komisi penjualan, disamping pembukuan yang menyangkut perpajakan dan perkembangan networking atau jaringan dan level, melalui laporan otomatis secara periodik.
2. Penegasan motif dan tujuan bisnis MLM sebagai sarana penjualan langsung produk barang ataupun jasa yang bermanfaat, dan bukan permainan uang.
3. Meyakinkan kehalalan produk yang menjadi objek transaksi riil (underlying transaction) dan tidak mendorong kepada kehidupan boros, hedonis, dan membahayakan eksistensi produk muslim maupun lokal.
4. Tidak adanya excesive mark up (ghubn fakhisy) atas harga produk yang dijualbelikan di atas covering biaya promosi dan marketing konvensional.
5. Harga barang dan bonus (komisi) penjualan diketahui secara jelas sejak awal dan dipastikan kebenarannya saat transaksi.
6. Tidak adanya eksploitasi pada jenjang manapun antar distributor ataupun antara produsen dan distributor, terutama dalam pembagian bonus yang merupakan cerminan hasil usaha masing-masing anggota.

Sabtu, 01 Maret 2008

“10 PENGHALANG UNTUK MENGIKUTI KEBENARAN”

BAB I

LATAR BELAKANG MASALAH

1.1 Profil Buku

Buku yang akan dibedah isinya ialah buku yang berlatar belakang Islam dengan judul “TABIR HIDAYAH” serta memiliki subtitle “10 PENGHALANG UNTUK MENGIKUTI KEBENARAN.” Buku ini dikarang oleh Fariq Gasim Anuz, diterbitkan oleh Pustaka Imam Asy-syafi’I, Bogor Pada tahun 2002. Buku ini memiliki tebal 80 lembar untuk isi dan 2 lembar untuk cover, didalamnya berisi tiga pokok masalah dan 12 sub pokok masalah. Buku dengan judul Tabir Hidayah ini mengambil referensi dari buku-buku al-imam ibnu Qayyim al-jauziah rahimahullah. Adapun sinopsis dari buku ini selengkapnya sebagai berikut “…..Sesungguhnya orang-orang yang beriman sangat mendambakan untuk dapat meniti (dalam) kehidupan yang fana ini di atas jalan yang benar, di jalan keridhaan-nya. Segala macam tantangan dan rintangan menghadang kita gagal meraih cita-cita mulia, dari dalam diri kita sendiri datang tantangan berupa hawa nafsu yang cenderung keburukan, ditambah dengan musuh-musuh dari luar berupa syaitan-syaitan dari jin dan manusia yang bekerja mati-matian siang dan malam untuk menyesatkan manusia dari jalan kebenaran. Mereka bekerja sama dan saling tolong menolong dalam hal dosa dan permusuhan. ”

Adapun harapan dari penulis untuk para pembacanya bahwasannya buku ini bisa memberikan pelajaran yang berharga bagi kita, dijadikan sebagai bahan introspeksi diri dan bukan untuk menilai orang lain, sementara kita lupa akan kekurangan dan kelemahan diri sendiri yang tidak sedikit jumlahnya.

1.2 Masalah Pokok

Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, buku ini memiliki tiga masalah pokok, diantaranya:

Ø Sepuluh Penghalang untuk Mengikuti kebenaran

Ø Bahaya Ambisi Terhadap Harta dan Kehormatan

Ø Beberapa Penyebab Zuhud

1.3 Sub Pokok Masalah

Mengenai sub pokok masalahnya pada buku ini memiliki 12 butir dengan rincian 10 butir dari pokok masalah tentang Sepuluh penghalang untuk mengikuti kebenaran yang rinciannya sebagai berikut:

v Kurangnya ilmu dan lemahnya pemahaman tentang kebenaran tersebut

v Hati yang kotor akibat maksiat

v Sombong dan dengki

v Lebih mencintai kehormatan dari pada kebenaran

v Syahwat dan harta

v Cinta kepada keluarga dan karib kerabat melebihi cintanya kepada kebenaran

v Lebih mencintai negara dan tanah air dari pada mencintai kebenaran

v Mencintai nenek moyang melebihi cintanya kepada kebenaran

v Adanya permusuhan antara seseorang dengan yang lain, kemudian musuhnya mengikuti kebenaran

v Penghalang berupa adat istiadat

Kemudian untuk dua butirnya lagi berasal dari pokok masalah Bahaya ambisi terhadap harta, serta dalam sub masalah ini terdapat sub masalah selanjutnya, seperti berikut

( Ambisi terhadap harta

1. Sangat cinta terhadap harta dan memforsir diri serta berlebih-lebihan dalam mencarinya, meskipun dengan jalan yang halal

2. Disamping yang pertama, dia mencari dari jalan yang haram dan menahan hak-hak yang wajib ia berikan kepada orang lain

( Ambisi terhadap kehormatan

1. Mencari kehormatan melalui jabatan, kekuasaan dan harta

2. Mencari kehormatan dan kedudukan yang tinggi di mata manusia melalui jalan agama, seperti ilmu, amal shalih dan juhud

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Sepuluh Penghalang untuk Mengikuti Kebenaran

Ini merupakan suatu jawaban atas adanya masalah yang selama ini menggelayuti kehidupan manusia sebagai suatu penghalang untuk mencapai kemaslahatan dunia dan akhirat.

Setiap muslim pasti menginginkan agar dalam hidup di dunis ini dirinya benar-benar berada diatas jalan yang haq atau di atas Shirathal Mustaqim, bahkan kita selaluberdoa kepada Allah dalam shalat kita minimal tujuh belas kali sehari dengan doa: “Ihdinash shirathal mustaqim (Berilah kami petunjuk ke jalan yang lurus).”

Itulah doa yang selalu kita panjatkan, agar kita dapat tetap berjalan di atas kebenaran, mengikuti jalan Islam yang haq, untuk taat kepada Allah,Untuk meninggalkan perbuatan maksiat kepada-Nya, untuk mengikuti jejak Rasullallah dan para sahabatnya, untuk menjauhi segala bentuk bid’ah dan kesesatan, untuk merealisasikan itu semua tidaklah mudah, karena dia harus menghadapi banyak rintangan dan godaan yang selalu menghalanginya dari kebenaran tersebut.

Di antaranya terdapat sepuluh sebab yang menghalangi manusia untuk mengikuti kebenaran, antara lain sebagai berikut:

a) Kurangnya ilmu dan lemahnya tentang kebenaran tersebut

Kita telah mengetahui, bahwa seorang muslim wajib untuk menuntut ilmu, karena ilmu adalah cahaya, sedangkan kebodohan ialah kegelapan. Dengan ilmu ia dapat membedakan mana yang haq dan mana yang bathil. Rasullulah berseru bahwa “Menuntut ilmu itu ialah kewajiban bagi semua muslim.”

Ada duajenis tentara kebatilan yang masuk ke dalam hati manusia, yaitu para tentara syahwat yang durjana dan tentara syubhat yang bathil. Orang yang hatinya condong pada syubhat, maka hati, lisan amalan-amalannya berupa keraguan, syubhat-syubhat dan tendensi-tendensi hawa nafsu. Adapun orang yang jahil (bodoh) menyangka bahwa orang tersebut memiliki ilmu yang sangat luas! Padahal sesungguhnya kosong dari ilmu dan keyakinan.

Adapun orang-orang yang diberikarunia oleh Allah berupa bashirah dapat menyingkap hakekat dibalik segalasesuatu apakah berupa kebenaran atau kebatilan. Apabila kita hendak menelaah hakekat suatu pengertian, apakah dia itu haq atau bathil, lepaskanlah dari semua pengaruh ungkapan kata-kata, lepaskan diri kita dari sikap apriori aau simpati, kemudian setelah itu berikan akal haknya untuk mempertimbangkan hal tersebut dengan pertimbangan yang obyektif.

b) Hati yang kotor akibat maksiat

Al-Imam Ibnu Qayyim mengatakan: “Biasa jadi pengetahuan dia tentang ilmu tersebut sempurna, tetapi tidak cukup dengan ilmu pengetahuan saja untuk bisa mengikuti kebenaran. Ada syarat lain, yaitu harus bersih atau dia itu telah siap untuk menerima kebenaran, siap untuk dibersihkan. Apabila dia sendiri belum dibersihkan, maka kebenaran yang datang akan sulit diterima, apalagiuntuk diikuti. ”

Dalam hal ini hati manusia dimana bila ia banyak berbuat dosa dan maksiat, jauh dari aturan-aturan Allah, maka hatinya menjadi kotor.Bila perbuatan itu terus-terusan terjadi maka ia tidak mengenal lagi mana yang baik dan yang munkar, selanjutnya ilmu yang dimilikinya pun tidak akan bermanfaat lagi.

c) Sombong dan dengki

Sombong dan dengki menghalangi manusia untuk mengikuti kebenaran. Oleh karena itu hati kita harus dibersihkan dari sifat sombong. Adapun hal yang menyebabkan manusia bersifat sombong antara lain, karena ia merasa memiliki ilmu, baik ilmu dunia maupun ilmu agama yang lebih dari yag lainnnya. Selain itu ialah harta, keturunan, ketampanan dan kecantikan. Untuk mengendalikan hal itu kita harus senantiasa ingat bahwa kita ini manusia, tempatnya berbuat salah dan dosa serta diciptakan dari tanah dan tidak ada keunggulan darinya selain keimanan dan ketaqwaan kepada Allah swt yang hanya Allah-lah tyang tahu siap manusia bertaqwa.

Selain itu sifat buruk yang akan menghalangi kebenaran ialah sifat dengki. Pada sifat ini akan merugikan diri sediri dan orang lain. Dimana dirinya akan merasa tersiksa karena hatinya selalu tidak tenang bila melihat orang lain senang atau mendapat kebakan dan merugikan orang lain karena orang yang dengki akan melakukan apa saja untuk mencegah kebahagiaan atau kebenaran yang didapatkan oleh orang lain.

d) Lebih mencintai kehormatan dari pada kebenaran

Hal ini terjadi pada orang yang tidak ingin kehilangan kewibawaannya bila ia mengikuti jalan yang benar karena kebanyakan orang-orang berada di luar jalan yang benar. Maka solusinya ialah menguatkan hati untuk tetap istiqomah dijalan kebenaran apapun resiko yang akan dihadapi.

e) Syahwat dan harta

Syahwat dan harta bila tidak dikendalikan dengan baik makaakan menimbulkan mala petaka pada orang yang bersangkutan dimana ia akan terhalang dari kebenaran. Godaan syahwat bisa dicontohkan bila mana seorang muslim ataupun muslimah yang digelapkan mata hatinya karena jatuh cinta pada orang diluar Islam sehingga ia rela untuk meninggalkan keislamannya. Sedangkan contoh harta yang membawa petaka ialah bila mana kita lebih mengutamakan harta kita dibandingkan kebenaran yang harus dijalankan. Jalan yang harus kita tempuh untukmenghindari hal tersebut ialah bersabar dalam keadaan apapun tetap yakin bahwa kebenaran akan membawa kebahagiaan yang abadi.

f) Cinta kepada keluarga dan karib kerabat melebihi cintanya kepada kebenaran

Jika kita akan mengikuti kebenaran yang harus berbenturan dengan keluarga atau dengan karib kerabat,dipastikan akan mengalami masa-masa sulit. Dimana hal ini akan menjadi sebuah dilema bagi seseorang yang mengalaminya dimana dua hal yang paling penting dalam hidupnya harus dipilih salah satu jalan kebenarankah atau keluarga yang akan dipilih. Namun bila orang tersebut benar-benar memiliki keimanan yang kuat maka dipastikan ia akan memilih jalan kebenaran sebagai pilihan utamanya dengan menyadari berbagai resiko atau konsekuensi yang akan dihadapi.

g) Lebih mencintai negara dan tanah air dari pada mencintai kebenaran

Pada bagian ini menerangkan tentang seseorang yang lebih memilih negara dan tanah airnya dari pada menjalankan apa yang seharusnya dilakukan menurut islam. Biasanya kenyataan seperti ini rentan pada orang yang imannya masih lemah. Oleh karena itu untuk menghindari masalah ini maka pertebalah keimanan kita terhadap Islam.

h) Mencintai nenek moyang melebihi cintanya kepada kebenaran

Seseorang pada pikirannya memiliki keyakinan kalau dia mengikuti dien yang Islam benar, berarti ia melecehkan nenek moyangnya. Sehingga karena kecintaannya kepada nenek moyangnya itu ia tidak bisa menerima Islam.

Contoh nyata kasus ini pada jaman Rasullullah SAW dimana paman Nabi , yaitu Abu Thalib yang meyakini bahwa Nabi Muhammad itu benar ajarannya, bahkan ia selalu membela dan melindungi Rasullullah SAW dari gangguan orang-orang kafir. Akan tetapi ia sangat mencintai nenek moyangnya dari kalangan kafir yang menyembah berhala. Ketika menjelang meninggalnya pun, Nabi Muhammad SAW Bersabda: “Katakanlah, Laa ilaha illallah, maka engkau akan selamat ” Akan tetapi ada dua orang musyrikin yang hadir dihadapannya. Mereka berkata kepada Abu Thalib : “Apakah Engkau benci kepada Agama nenek moyang kita?” Akhirnya ia mati dalam keadaan musyrik.

i) Adanya permusuhan antara seseorang dengan yang lain, kemudian musuhnya mengikuti kebenaran

Disebabkan oleh adanya permusushan pribadi antara seseorang dengan musuhnya, pada akhirnya orang tersebut tidak mau mengikuti kebenaran seperti musuhnya. Hal ini disebabkan oleh tabiat orang yang bermusuhan itu, masing-masing selalu ingin tampil berbeda dengan musuhnya. Misal seseorang menjadi tidak berkenan untuk pergi ke majelis ta’lim karena musuhnya pun pergi kemajlis ta’lim. Seharusnya hal yang seperti ini tidak perlu terjadi karena kita harus memiliki pegangan teguh terhadap jalan kebenaran walaupun musuhnya pun melakukan hal serupa. Sebagaimana Sabda Allah SWT dalam QS. Al-Hujuraat:10 yang berbunyi “Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, maka damaikanlah diantara kedua saudaramu. ” Hal yang harus diperhatikan dalam menanggapi masalah ini ialah mencoba mengintrospeksi diri serta berpikiran obyektif kepada diri sendiri dan orang lain serta berlaku benar pada semua.

j) Penghalang berupa adat istiadat

Seseorang sejak keciltelah terbiasa menjalankan ajaranyang bersumber dari adat istiadat sehingga sudah mendarah daging, kemudian datang seorang pemuka agama Islam yang harus merubahnya, membawanya untuk mengikuti Al-Quran dan As-Sunnah, maka usaha ini bukanlah perkara yang mudah. Seorang juru dakwah harus membekali dirinya dengan sabar dalam merubah pola pikir orang-orang yang didakwahinya. Harus dipahami, bahwa untuk merubah tingkah laku seseorang itu perlu waktu, tidak semudah yang kita kira. Di sini dituntut adanya kesabaran . Demikian juga seseorang yang sudah terbiasa mengikuti adat-istiadat harus bisa meninggalkannya apabila ternyata bertentangan dengan syari’at Islam. Diperbolehkan untuk mengikuti adat istiadat selamaitu tidak bertentangan dengan syariat Islam. Adapun Firman Allah SWT yang menyatakan tentang adat istiadat ialah pada QS. Al-An’aam:116 yang berbunyi “Dan jika kamu menuruti kebanyakanorang-orang yang adadimuka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah).”

2.2 Bahaya Ambisi terhadap Harta dan Kehormatan

Seperti yang tertera dalam sebuah hadis dari Ka’ab Malik al-Anshari bahwasannya Nabi Muhammad SAW mencontohkan kerusakan pada dien seorang muslim dengan sebab ambisi terhadap harta dan kehormatan di dunia. Hadis ini mengisyaratkan, bahwa orang yang berambisi terhadap harta dan kehormatan tidak akan selamat dari keutuhan keislamannya, kecuali hanya sedikit yang selamat.

a) Ambisi terhadap harta

Ambisi terhadap harta terbagi menjadi dua, antara lain sebagai berikut:

ª Sangat cinta terhadap harta dan memforsir diri serta berlebih-lebihan dalam mencarinya meskipun dengan cara yang halal

Walaupun akibat yang muncul dari ambisi terhadap harta hanyalah tersia-sianya waktu dalam hidup ini, padahal hal yang memungkinkan bagi manusia untuk memanfaatkan waktu tersebut untuk mencapai kedudukan yang yang lebih tinggi dan kenikmatan yang abadi di sisi Allah SWT, cukuplah hal tersebut sebagai celaan terhadap perbuatan ambisi terhadap harta.

ª Disamping yang pertama, dia mencari harta dari jalan-jalan yang haram dan menahan hak-hak yang wajb ia berikan kepada orang lain

Ada beberapa hakikat pada bahasan ini antara lain, Hakekat asy-syuhh ialah kecenderungan jiwa kepada apa-apa yang diharamkan oleh Allah dan tidak puasnya seseorang dari apa-apa yang dihalalkan oleh Allah, baik berupa harta, hubungan seksual dan selainnya. Kemudian setelah itu ia melampaui batas dengan melakukan perbuatan yang dilarang oleh Allah SWT.

Sedangkan Al-bukhlu merupakan menahan diri dari mengeluarkan harta yang dimilikinya.

b) Ambisi terhadap kehormatan

Ambisi terhadap kehormatan dibagi menjadi dua macam:

ª Mencari Kehormatan melalui jabatan, kekuasaan dan harta

Ketahuilah, bahwa ambisi terhadap kehormatan sangat membahayakan pelakunya, dalam usahanya dalam mencapai tujuan, juga sangat membahayakan pelakunya, ketika telah mendapatkan kehormatan di dunia, dengan cara mempertahankan statusnya meskipun harus melakukan kezhaliman, kesombongan dan kerusak-rusakan yang lain, sebagaimana dilakukan oleh penguasa yang zhalim.

Diantara bahaya dari ambisi terhadap kehormatan adalah biasanya orang yang memiliki kehormatan karena harta atau kekuasaannya, ia akan suka dipuji karena perbuatannya dan ia menginginkan pujian dari manusia, meskipun terkadang perbuatan itu lebih tepat disebut sebagai perbuatan tercela dari pada perbuatan terpuji. Orang yang tidak mengikuti keinginannya, dia tidak segan-segan menyakiti dan menterornya.

ª Mencari kehormatan dan kedudukan yang tinggi di mata manusia melalui jalan agama, misalnya seperti; ilmu, amal shalih dan zuhud

Bentuk seperti ini lebih keji dari yang pertama, lebih buruk, lebih berbahaya dan lebih besar kerusakannya. Karena sesungguhnya ilmu, amal shalih dan zuhud hanyalah dimaksudkan untuk mendapatkan ganjaran di sisi Allah SWT, berupa kedudukan yang tinggi, kenikmatan yang langgeng dan kedekatan dengan-Nya. Pada bagian ini pun terbagi dua, antara lain sebagai berikut:

a. Dimaksudkan untuk mencari harta. Ini termasuk ke dalam ambisi terhadap harta dan mencarinya dengan jalan yang diharamkan.

b. Dimaksudkan untuk mencari pengaruh pada manusia dan agar dihormati oleh mereka, agar mereka tunduk patuh kepadanya, agar ia menjadi pusat perhatian manusia, untuk menampakan kepada manusia kelebihan ilmunya melampaui para ulama, maka orang seperti ini bagiannya adalah neraka.

2.3 Beberapa Penyebab Zuhud

Untuk memperoleh sikap zuhud, terdapat beberapa sebab, diantaranya:

© Dengan merenungi tentang akibat buruk di akhirat dengan sebab kehormatan dunia, berupa jabatan dan kekuasaan bagi orang yang tidak melaksanakan tugasnya dengan benar.

© Dengan merenungi tentang hukuman yang diperoleh bagiorang-orang yang zhalim dan sombong.

© Dengan merenungi tentang pahala yang akan didapatkan oleh orang-orang yang ketika di dunia rendah hati,ikhlas karena Allah, yaitu dengan mendapatkan derajat yang tinggi di akhirat, karena sesungguhnya, barangsiapa yang rendah hati karena Allah, niscaya Allah akan mengangkat derajatnya.

© Zuhud didapat bukan karena kemampuan seorang hamba, akan tetapi merupakan karunia Allah dan rahmat-Nya. Orang yang zuhud akan memperoleh kehidupan yang baik di dunia sesuai dengan janji Allah kepada orang-orang yang beriman dab beramal shalih.

BAB III

TANGGAPAN DAN SARAN

3.1 Tanggapan

Dalam pemaparan isi buku diatas bila dilihat dari segi penulisan pokok masalah dan sub pokok masalah insyaallah akan mudah dipahami oleh berbagai kalangan masyarakat Islam dimana pokok masalahnya ditampilkan secara lugas, misal “sepuluh penghalang untuk mengikuti kebenaran.” Kita dapat perhatikan bahwa pemilihan katanya mudah dimengerti, lalu maknanya jelas yaitu mengenai penghalang menuju jalankebenaran baik eksternal maupun internal.

Namun apabila kita melihatnya dari sudut pandang isi dari buku tersebut ada beberapa bagian kekurangan misal dalam penulisan kataseprti “tolak ukur” ditulis tolok ukur. Penyajian penulisannya yang kurang menarik sehingga membawa efek bosan.

3.2 Saran

Adapun beberapa saran yang ditujukan untuk penulis, antara lain:

§ Penyajian isi buku agar lebih tampil menarik lagi, seperti diberi background, jarak spasinya jangan terlalu dekat, memberikan pemilihan kata yang mudah dimengerti oleh berbagai pihak.

§ Istilah-istilah asingnya lebih diperjelas lagi maknanya, memberikan penjelasan yang lebih lengkap lagi.

Kamis, 28 Februari 2008

RANCANGAN

Menimbang: a. bahwa untuk mewujudkan fungsi dan tujuan pendidikan
nasional, diperlukan otonomi dalam pengelolaan pendidikan
formal dengan menerapkan manajemen berbasis
sekolah/madrasah pada pendidikan anak usia dini jalur
formal, pendidikan dasar dan menengah, serta otonomi
perguruan tinggi pada pendidikan tinggi;
b. bahwa otonomi dalam pengelolaan pendidikan formal dapat
diwujudkan, jika penyelenggara dan/atau satuan pendidikan
formal berbentuk badan hukum pendidikan, yang berfungsi
memberikan pelayanan yang adil dan bermutu kepada
peserta didik, berprinsip nirlaba, dan dapat mengelola dana
secara mandiri untuk memajukan satuan pendidikan;
c. bahwa agar badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksud
pada huruf b, menjadi landasan hukum bagi penyelenggara
dan/atau satuan pendidikan dalam mengelola pendidikan
formal, maka badan hukum pendidikan tersebut perlu diatur
dengan undang-undang;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan pada huruf a, huruf b, dan
huruf c, serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 53
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, perlu membentuk Undang-Undang
tentang Badan Hukum Pendidikan.
Mengingat: 1. Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2003 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4301);
2
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG BADAN HUKUM
PENDIDIKAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan:
1. Badan Hukum Pendidikan yang selanjutnya disebut BHP adalah badan
hukum yang menyelenggarakan pendidikan formal.
2. Badan Hukum Pendidikan Pemerintah yang selanjutnya disebut BHPP
adalah BHP yang didirikan oleh Pemerintah.
3. Badan Hukum Pendidikan Pemerintah Daerah yang selanjutnya disebut
BHPPD adalah BHP yang didirikan oleh pemerintah daerah.
4. Badan Hukum Pendidikan Masyarakat yang selanjutnya disebut BHPM
adalah BHP yang didirikan oleh masyarakat.
5. Pendiri adalah Pemerintah, pemerintah daerah, atau masyarakat yang
mendirikan BHP.
6. Masyarakat adalah kelompok warga negara Indonesia non-pemerintah
yang mempunyai perhatian dan peranan dalam bidang pendidikan.
7. Satuan pendidikan adalah kelompok layanan pendidikan yang
menyelenggarakan pendidikan formal.
8. Pendidikan formal adalah jalur pendidikan terstruktur dan berjenjang yang
meliputi pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan
dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi.
9. Pemimpin satuan pendidikan yang selanjutnya disebut pemimpin adalah
pejabat yang memimpin satuan pendidikan dengan sebutan kepala
sekolah/madrasah atau sebutan lain pada pendidikan anak usia dini jalur
formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah, atau rektor untuk
universitas/institut, ketua untuk sekolah tinggi, atau direktur untuk
politeknik/akademi pada pendidikan tinggi.
10. Pimpinan satuan pendidikan yang selanjutnya disebut pimpinan adalah
para pejabat yang memimpin satuan pendidikan dengan sebutan kepala
sekolah/madrasah, wakil kepala sekolah/madrasah, dan sebutan/pejabat
lain pada pendidikan anak usia dini jalur formal, pendidikan dasar, dan
pendidikan menengah, atau rektor, wakil rektor, dekan, dan
sebutan/pejabat lain pada pendidikan tinggi.
3
11. Pendanaan pendidikan yang selanjutnya disebut pendanaan adalah
penyediaan sumber daya keuangan yang diperlukan untuk
penyelenggaraan pendidikan formal.
12. Pemerintah adalah Pemerintah Pusat.
13. Pemerintah daerah adalah pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten,
atau pemerintah kota.
14. Menteri adalah menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang
pendidikan nasional.
Pasal 2
BHP berfungsi memberikan pelayanan pendidikan formal kepada peserta
didik.
Pasal 3
BHP bertujuan memajukan satuan pendidikan dengan menerapkan
manajemen berbasis sekolah dan otonomi perguruan tinggi.
Pasal 4
(1) Dalam pengelolaan dana secara mandiri, BHP didasarkan pada prinsip
nirlaba, yaitu prinsip kegiatan yang tujuan utamanya bukan mencari sisa
lebih, sehingga apabila timbul sisa lebih hasil usaha dari kegiatan BHP,
maka seluruh sisa lebih hasil kegiatan tersebut harus ditanamkan kembali
ke dalam BHP untuk meningkatkan kapasitas dan/atau mutu layanan
pendidikan.
[Pengelolaan dana secara mandiri oleh BHP didasarkan pada prinsip
nirlaba, yaitu prinsip kegiatan yang tujuan utamanya tidak mencari
keuntungan sehingga seluruh sisa hasil usaha dari kegiatan BHP harus
ditanamkan kembali ke dalam BHP untuk meningkatkan kapasitas
dan/atau mutu layanan pendidikan.]
(2) Pengelolaan pendidikan formal secara keseluruhan oleh BHP didasarkan
pada prinsip:
a. Otonomi, yaitu kewenangan dan kemampuan untuk menjalankan
kegiatan secara mandiri baik dalam bidang akademik maupun nonakademik;
b. Akuntabilitas, yaitu kemampuan dan komitmen untuk
mempertanggungjawabkan semua kegiatan yang dijalankan BHP
kepada pemangku kepentingan sesuai dengan peraturan perundangundangan;
c. Transparansi, yaitu keterbukaan dan kemampuan menyajikan
informasi yang relevan secara tepat waktu sesuai dengan peraturan
perundang-undangan dan standar pelaporan yang berlaku kepada
pemangku kepentingan;
d. Penjaminan mutu, yaitu kegiatan sistemik dalam memberikan layanan
pendidikan formal yang memenuhi atau melampaui Standar Nasional
Pendidikan, serta dalam meningkatkan mutu pelayanan pendidikan
secara berkelanjutan;
4
e. Layanan prima, yaitu orientasi dan komitmen untuk memberikan
layanan pendidikan formal yang terbaik demi kepuasan pemangku
kepentingan, terutama peserta didik;
f. Akses yang berkeadilan, yaitu memberikan layanan pendidikan formal
kepada calon peserta didik dan peserta didik, tanpa memandang latar
belakang agama, ras, etnis, gender, status sosial, dan kemampuan
ekonominya;
g. Keberagaman, yaitu kepekaan dan sikap akomodatif terhadap berbagai
perbedaan pemangku kepentingan yang bersumber dari kekhasan
agama, ras, etnis, dan budaya masing-masing;
h. Keberlanjutan, yaitu kemampuan untuk memberikan layanan
pendidikan formal kepada peserta didik secara terus-menerus, dengan
menerapkan pola manajemen yang mampu menjamin keberlanjutan
layanan;
i. Partisipasi atas tanggung jawab negara, yaitu keterlibatan pemangku
kepentingan dalam penyelenggaraan pendidikan formal untuk
mencerdaskan kehidupan bangsa yang sesungguhnya merupakan
tanggung jawab negara.
Pasal 5
(1) Penyelenggara dan/atau satuan pendidikan tinggi yang didirikan oleh
Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan.
(2) Penyelenggara dan/atau satuan pendidikan dasar dan pendidikan
menengah yang didirikan oleh Pemerintah atau pemerintah daerah dapat
berbentuk badan hukum pendidikan.
(3) Penyelenggara dan/atau satuan pendidikan dasar dan pendidikan
menengah yang didirikan oleh masyarakat berbentuk badan hukum
pendidikan.
BAB II
JENIS, BENTUK, PENDIRIAN, DAN PENGESAHAN
Pasal 6
(1) Jenis BHP terdiri atas BHP penyelenggara, BHP satuan pendidikan, serta
BHP penyelenggara dan satuan pendidikan.
(2) BHP penyelenggara merupakan jenis BHP yang didirikan oleh
penyelenggara pendidikan yang mengelola satu atau lebih satuan
pendidikan formal.
(3) BHP satuan pendidikan merupakan jenis BHP yang didirikan oleh satuan
pendidikan yang mengelola satu satuan pendidikan formal.
(4) BHP penyelenggara dan satuan pendidikan merupakan jenis BHP yang
didirikan oleh penyelenggara pendidikan dan satuan pendidikan yang
mengelola satu atau lebih satuan pendidikan formal yang berbadan
hukum.
Pasal 7
(1) Bentuk BHP terdiri atas BHPP, BHPPD, dan BHPM.
5
(2) BHPP dan BHPM dapat menyelenggarakan satu atau lebih jenjang dan
jenis pendidikan.
(3) BHPPD dapat menyelenggarakan satu atau lebih jenjang pendidikan anak
usia dini, pendidikan dasar, dan/atau pendidikan menengah dalam satu
atau lebih jenis pendidikan umum, pendidikan kejuruan, pendidikan
keagamaan, dan/atau pendidikan khusus.
(4) BHPP didirikan dengan Peraturan Pemerintah, BHPPD didirikan dengan
Peraturan Daerah, dan BHPM didirikan dengan akta notaris.
(5) Badan hukum yang didirikan untuk menyelenggarakan pendidikan formal
setelah Undang-Undang ini berlaku berbentuk BHPP, BHPPD, atau BHPM
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai biaya pembuatan akta notaris
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 8
(1) Pendirian BHPP dan BHPPD dilakukan oleh Menteri atau Menteri lain,
Gubernur, Bupati/Walikota sesuai kewenangan masing-masing.
(2) Pendirian BHPM dilakukan oleh orang perseorangan atau masyarakat.
(3) Pendirian BHP harus memenuhi syarat:
a. mempunyai tujuan di bidang pendidikan formal;
b. mempunyai struktur organisasi;
c. mempunyai kekayaan sendiri yang terpisah dari kekayaan pendiri; dan
d. mempunyai organ penentu kebijakan umum tertinggi.
(4) Jumlah kekayaan yang dipisahkan oleh pendiri sebagai kekayaan BHP
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c, harus mencukupi biaya
operasional BHP dan ditetapkan dalam anggaran dasar BHP.
Pasal 9
(1) Peraturan pemerintah, peraturan daerah, dan akta notaris sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 ayat (4) memuat anggaran dasar BHP dan
keterangan lain yang dianggap perlu.
(2) Pembuatan atau perubahan anggaran dasar BHP dilakukan oleh pendiri
BHP.
(3) Dalam hal pendiri BHPM telah tidak ada, pengaturan tentang perubahan
anggaran dasar BHPM ditetapkan dalam anggaran dasar BHPM.
(4) Anggaran dasar BHP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurangkurangnya
memuat:
a. nama dan tempat kedudukan BHP;
b. tujuan BHP;
c. ciri khas dan ruang lingkup kegiatan BHP;
d. jangka waktu pendirian BHP;
6
e. struktur organisasi serta nama dan fungsi setiap organ BHP;
f. susunan, tatacara pembentukan, pengangkatan dan pemberhen-tian
pemimpin dan pimpinan organ, serta pembatasan masa jabatan para
pejabat di lingkungan BHP;
g. pengelolaan sumber daya BHP;
h. jumlah kekayaan yang dipisahkan oleh pendiri sebagai kekayaan BHP;
i. tata cara penggabungan dan pembubaran BHP;
j. perlindungan terhadap tenaga BHP dan peserta didik di lingkungan
BHP;
k. pencegahan kepailitan dan penyelamatan BHP yang hampir pailit; dan
l. tata cara perubahan anggaran dasar dan penyusunan anggaran rumah
tangga BHP.
Pasal 10
(1) Status sebagai BHPP berlaku mulai tanggal Peraturan Pemerintah tentang
pendirian BHPP ditetapkan oleh Presiden dan status sebagai BHPPD
berlaku mulai tanggal Peraturan Daerah tentang pendirian BHPPD
ditetapkan oleh gubernur, bupati, atau walikota sesuai kewenangan
masing-masing.
(2) Status sebagai BHPM berlaku mulai tanggal akta notaris tentang pendirian
BHPM disahkan oleh Menteri.
(3) Perubahan anggaran dasar BHPM tentang hal-hal sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 ayat (4) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, dan huruf h
disahkan Menteri.
(4) Perubahan anggaran dasar BHPM yang tidak menyangkut hal-hal
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diberitahukan kepada Menteri.
(5) Pengesahan akta notaris tentang pendirian BHPM sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) tidak dipungut biaya.
Pasal 11
(1) Dalam waktu paling lama 6 (enam) bulan setelah peraturan pemerintah
atau peraturan daerah tentang pendirian BHPP atau BHPPD ditetapkan
atau akta notaris tentang pendirian BHPM disahkan oleh Menteri, organ
penentu kebijakan umum tertinggi harus membentuk organ-organ lainnya
sesuai ketentuan dalam Undang-Undang ini.
(2) Pendirian satuan pendidikan oleh organ penentu kebijakan umum tertinggi
harus memperoleh izin terlebih dahulu dari Pemerintah atau pemerintah
daerah sesuai kewenangan masing-masing.
Pasal 12
(1) Lembaga pendidikan asing yang terakreditasi atau yang diakui di
negaranya dapat mendirikan BHP di Indonesia melalui kerja sama dengan
BHP Indonesia yang telah ada.
7
(2) Pendirian BHP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi
ketentuan dalam Pasal 7 sampai dengan Pasal 12.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pendirian BHP sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB III
TATA KELOLA
Pasal 13
(1) BHP yang menyelenggarakan pendidikan anak usia dini jalur formal, serta
pendidikan dasar dan menengah memiliki sekurang-kurangnya 2 (dua)
fungsi pokok, yaitu:
a. fungsi penentuan kebijakan umum tertinggi, dan
b. fungsi pengelolaan pendidikan.
(2) BHP yang menyelenggarakan pendidikan tinggi memiliki sekurangkurangnya
4 (empat) fungsi pokok, yaitu:
a. fungsi penentuan kebijakan umum tertinggi,
b. fungsi penentuan kebijakan akademik,
c. fungsi audit bidang non-akademik, dan
d. fungsi pengelolaan pendidikan.
(3) Anggaran dasar BHP dapat menambahkan fungsi tambahan selain fungsi
pokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).
(4) Nama organ BHP yang melaksanakan fungsi pokok sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dalam anggaran dasar BHP.
Pasal 14
(1) Satu BHP dapat mengelola lebih dari 1 (satu) satuan pendidikan.
(2) Dalam hal BHP yang menyelenggarakan pendidikan anak usia dini jalur
formal serta pendidikan dasar dan menengah mengelola lebih dari 1 (satu)
satuan pendidikan, BHP tersebut memiliki 1 (satu) organ penentu
kebijakan umum tertinggi untuk sejumlah satuan pendidikan yang
dikelolanya, dan hal itu diatur dalam anggaran dasar BHP.
(3) Dalam hal BHP yang menyelenggarakan pendidikan tinggi mengelola lebih
dari 1 (satu) satuan pendidikan, BHP tersebut memiliki 1 (satu) organ
penentu kebijakan umum tertinggi, 1 (satu) organ audit bidang nonakademik,
dan sejumlah organ penentu kebijakan akademik untuk
sejumlah satuan pendidikan yang dikelolanya, dan hal itu diatur dalam
anggaran dasar BHP.
8
Pasal 15
(1) Fungsi penentuan kebijakan umum tertinggi di dalam BHP dijalankan oleh
organ penentu kebijakan umum tertinggi.
(2) Organ penentu kebijakan umum tertinggi merupakan organ tertinggi BHP
dalam menyelenggarakan pendidikan formal.
(3) Anggota organ penentu kebijakan umum tertinggi di dalam BHP yang
menyelenggarakan pendidikan anak usia dini jalur formal serta pendidikan
dasar dan menengah, sekurang-kurangnya terdiri atas:
a. pendiri atau wakil pendiri,
b. pemimpin satuan pendidikan,
c. wakil pendidik,
d. wakil tenaga kependidikan, dan
e. wakil komite sekolah/madrasah.
(4) Anggota organ penentu kebijakan umum tertinggi dalam BHP yang
menyelenggarakan pendidikan tinggi, sekurang-kurangnya terdiri atas:
a. pendiri atau wakil pendiri,
b. wakil organ penentu kebijakan akademik,
c. pemimpin satuan pendidikan,
d. wakil tenaga kependidikan, dan
e. wakil unsur masyarakat.
(5) Anggaran dasar BHP dapat menetapkan wakil unsur lain sebagai anggota
organ tersebut selain anggota organ penentu kebijakan umum tertinggi
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3).
(6) Jumlah anggota organ penentu kebijakan umum tertinggi yang berasal
dari pendiri atau wakil pendiri dapat lebih dari 1 (satu) orang.
(7) Jumlah anggota organ penentu kebijakan umum tertinggi yang berasal
dari pemimpin satuan pendidikan adalah 1 (satu) orang.
Pasal 16
(1) Jumlah dan komposisi pemimpin satuan pendidikan yang menjadi anggota
organ penentu kebijakan umum tertinggi BHP yang mengelola lebih dari 1
(satu) satuan pendidikan ditetapkan dalam anggaran dasar BHP.
(2) Anggota organ penentu kebijakan umum tertinggi yang berasal dari
pemimpin satuan pendidikan, wakil pendidik, dan wakil tenaga
kependidikan pada BHP yang menyelenggarakan pendidikan anak usia dini
jalur formal serta pendidikan dasar dan menengah berjumlah sebanyakbanyaknya
satu per tiga dari jumlah anggota organ tersebut.
(3) Anggota organ penentu kebijakan umum tertinggi yang berasal dari
pemimpin satuan pendidikan, wakil organ penentu kebijakan akademik,
dan wakil tenaga kependidikan pada BHP yang menyelenggarakan
pendidikan tinggi berjumlah sebanyak-banyaknya 1/3 (satu pertiga) dari
jumlah semua anggota organ tersebut.
9
(4) Jumlah anggota organ penentu kebijakan umum tertinggi yang berasal
dari komite sekolah atau wakil unsur masyarakat ditetapkan dalam
anggaran dasar BHP.
Pasal 17
(1) Pengangkatan dan pemberhentian anggota organ penentu kebijakan
umum tertinggi ditetapkan dalam anggaran dasar BHP.
(2) Organ penentu kebijakan umum tertinggi dipimpin oleh seorang ketua
yang dipilih dari dan oleh para anggota organ penentu kebijakan umum
tertinggi.
(3) Anggota organ penentu kebijakan umum tertinggi yang berasal dari
pemimpin satuan pendidikan, wakil organ penentu kebijakan akademik,
wakil tenaga pendidik/tenaga kependidikan, tidak dapat dipilih sebagai
ketua organ penentu kebijakan umum tertinggi.
(4) Ketua organ penentu kebijakan umum tertinggi harus berkewarganegaraan
Indonesia.
(5) Masa jabatan ketua dan anggota organ penentu kebijakan umum tertinggi
selama 5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali untuk 1 (satu) kali masa
jabatan.
Pasal 18
(1) Dalam BHPPD, Gubernur, Bupati, atau Walikota, atau yang mewakilinya
sesuai kewenangan masing-masing berkedudukan sebagai wakil pendiri
dalam organ penentu kebijakan umum tertinggi.
(2) Dalam BHPP yang menyelenggarakan pendidikan tinggi, Menteri, Menteri
Agama, Menteri lain atau Kepala Lembaga Pemerintah Non Departemen,
atau yang mewakilinya, sesuai dengan kewenangan masing-masing
berkedudukan sebagai wakil pendiri dalam organ penentu kebijakan
umum tertinggi.
(3) Dalam BHPM, kedudukan dan kewenangan pendiri atau wakil pendiri
dalam organ penentu kebijakan umum tertinggi ditetapkan dalam
anggaran dasar BHPM.
Pasal 19
Tugas dan wewenang organ penentu kebijakan umum tertinggi meliputi:
a. menetapkan kebijakan umum BHP;
b. menyusun dan mengesahkan anggaran dasar BHP dan anggaran rumah
tangga BHP beserta perubahannya;
c. menetapkan rencana strategis, rencana kerja, dan anggaran tahunan BHP;
d. mengangkat dan memberhentikan pemimpin satuan pendidikan;
e. mengangkat dan memberhentikan ketua serta anggota organ audit bidang
non-akademik;
f. mengesahkan pimpinan dan keanggotaan organ penentu kebijakan
akademik;
g. melakukan pengawasan umum atas pengelolaan BHP;
10
h. melakukan evaluasi tahunan atas kinerja BHP;
i. mengevaluasi laporan pertanggungjawaban tahunan pemimpin satuan
pendidikan;
j. mengusahakan pemenuhan kebutuhan pembiayaan BHP sesuai dengan
peraturan perundang-undangan; dan
k. menyelesaikan persoalan BHP, termasuk masalah keuangan, yang tidak
dapat diselesaikan oleh organ BHP lain sesuai kewenangan masing-masing.
Pasal 20
(1) Pengambilan keputusan dalam organ penentu kebijakan umum tertinggi
dilakukan secara musyawarah untuk mufakat, kecuali ditetapkan lain
dalam anggaran dasar BHP.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai hak suara dan tata cara pengambilan
keputusan melalui pemungutan suara dalam organ penentu kebijakan
umum tertinggi, ditetapkan dalam anggaran dasar BHP.
Pasal 21
(1) Fungsi penentuan kebijakan akademik di dalam BHP yang
menyelenggarakan pendidikan tinggi dijalankan oleh organ penentu
kebijakan akademik.
(2) Organ penentu kebijakan akademik merupakan organ BHP yang bertindak
untuk dan atas nama organ penentu kebijakan umum tertinggi dalam
menetapkan norma dan ketentuan akademik tentang kurikulum, proses
pembelajaran, penelitian, pengabdian kepada masyarakat, serta
mengawasi penerapan norma dan ketentuan tersebut oleh satuan
pendidikan.
(3) Anggota organ penentu kebijakan akademik sekurang-kurangnya meliputi:
a. pimpinan satuan pendidikan,
b. wakil guru besar, dan
c. wakil pendidik.
(4) Anggaran dasar BHP yang menyelenggarakan pendidikan tinggi, dapat
menetapkan wakil unsur lain sebagai anggota organ penentu kebijakan
akademik selain anggota organ penentu kebijakan akademik sebagaimana
dimaksud pada ayat (3).
Pasal 22
(1) Jumlah anggota organ penentu kebijakan akademik yang berasal dari
pimpinan satuan pendidikan paling banyak 1/3 (satu pertiga) dari jumlah
semua anggota organ penentu kebijakan akademik.
(2) Anggota organ penentu kebijakan akademik yang berasal dari wakil
pendidik dipilih melalui pemungutan suara di unit kerjanya.
11
(3) Organ penentu kebijakan akademik dipimpin oleh seorang ketua yang
dipilih dari dan oleh para anggota organ penentu kebijakan akademik.
(4) Pimpinan satuan pendidikan tidak dapat dipilih sebagai ketua organ
penentu kebijakan akademik.
(5) Ketua dan anggota organ penentu kebijakan akademik disahkan oleh organ
penentu kebijakan umum tertinggi.
(6) Ketua dan anggota organ penentu kebijakan akademik pada BHP yang
baru didirikan, untuk pertama kali ditetapkan oleh organ penentu
kebijakan umum tertinggi.
(7) Masa jabatan ketua dan anggota organ penentu kebijakan akademik
selama 5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali untuk 1 (satu) kali masa
jabatan.
Pasal 23
Tugas dan wewenang organ penentu kebijakan akademik adalah:
a. menetapkan dan mengawasi penerapan norma dan ketentuan akademik
satuan pendidikan;
b. menetapkan dan mengawasi pelaksanaan kebijakan penjaminan mutu
pendidikan di satuan pendidikan;
c. menetapkan dan mengawasi pelaksanaan kebijakan kurikulum serta proses
pembelajaran;
d. menetapkan dan mengawasi pelaksanaan kebijakan penelitian dan
pengabdian kepada masyarakat;
e. menetapkan dan mengawasi pencapaian tolok ukur keberhasilan
penyelenggaraan pendidikan berdasarkan Standar Nasional Pendidikan;
f. menetapkan dan mengawasi pelaksanaan kode etik sivitas akademika;
g. menetapkan dan mengawasi penerapan peraturan pelaksanaan kebebasan
akademik, kebebasan mimbar akademik, otonomi keilmuan, pemberian
atau pencabutan gelar dan penghargaan akademik;
h. menetapkan dan mengawasi pelaksanaan kebijakan tata tertib akademik;
i. menetapkan dan mengawasi pelaksanaan kebijakan penilaian kinerja
pendidik dan tenaga kependidikan pelaksanaannya;
j. memberi rekomendasi tentang pemberian sanksi terhadap pelanggaran
norma dan ketentuan akademik kepada pemimpin satuan pendidikan;
k. memberi pertimbangan kepada organ penentu kebijakan umum tertinggi
tentang rencana strategis, serta rencana kerja dan anggaran tahunan yang
telah disusun oleh pemimpin satuan pendidikan; dan
l. memberi pertimbangan kepada organ penentu kebijakan umum tertinggi
tentang pengangkatan dan pemberhentian, serta kinerja bidang akademik
pemimpin satuan pendidikan.
12
Pasal 24
(1) Pengambilan keputusan dalam organ penentu kebijakan akademik
dilakukan secara musyawarah untuk mufakat, kecuali ditetapkan lain oleh
organ penentu kebijakan akademik.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai hak suara dan tata cara pengambilan
keputusan melalui pemungutan suara dalam organ penentu kebijakan
akademik ditetapkan oleh organ penentu kebijakan akademik.
Pasal 25
(1) Fungsi audit bidang non-akademik di dalam BHP penyelenggara
pendidikan tinggi dijalankan oleh organ audit bidang non-akademik.
(2) Organ audit bidang non-akademik merupakan organ BHP yang bertindak
untuk dan atas nama organ penentu kebijakan umum tertinggi dalam
melakukan evaluasi non-akademik atas penyelenggaraan BHP tersebut.
(3) Susunan, jumlah, dan kedudukan ketua dan anggota organ audit bidang
non-akademik ditetapkan dalam anggaran dasar BHP.
(4) Masa jabatan ketua dan anggota organ audit bidang non-akademik selama
5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan.
(5) Tugas dan wewenang organ audit bidang non-akademik adalah:
a. menetapkan kebijakan audit internal dan eksternal atas BHP dalam
bidang non-akademik;
b. mengevaluasi hasil audit internal dan eksternal atas BHP;
c. mengambil kesimpulan atas hasil audit internal dan eksternal atas
BHP; dan
d. mengajukan saran dan pertimbangan mengenai kegiatan nonakademik
kepada organ penentu kebijakan umum tertinggi.
(6) Ketua dan anggota organ audit bidang non-akademik ditentukan,
diangkat, dan diberhentikan oleh organ penentu kebijakan umum
tertinggi.
(7) Organ audit bidang non-akademik dapat menugaskan pengaudit
independen untuk melaksanakan audit internal dan/atau audit eksternal
atas beban pembiayaan BHP.
Pasal 26
(1) Fungsi pengelolaan pendidikan di dalam BHP dijalankan oleh satuan
pendidikan.
(2) Satuan pendidikan merupakan organ BHP yang bertindak untuk dan atas
nama organ penentu kebijakan umum tertinggi dalam mengelola
pendidikan.
13
(3) Satuan pendidikan memiliki otonomi dalam mengimplementasikan
manajemen berbasis sekolah dan otonomi perguruan tinggi sesuai
peraturan perundang-undangan.
(4) Nama satuan pendidikan ditetapkan dalam anggaran dasar BHP dan
digunakan oleh pemimpin satuan pendidikan dalam melakukan tindakan
ke dalam dan ke luar satuan pendidikan.
Pasal 27
(1) Satuan pendidikan dipimpin oleh pemimpin satuan pendidikan.
(2) Pemimpin satuan pendidikan bertindak ke dalam dan ke luar satuan
pendidikan untuk dan atas nama satuan pendidikan.
(3) Pemimpin satuan pendidikan bertindak ke luar untuk dan atas nama BHP
sesuai ketentuan dalam anggaran dasar BHP.
(4) Dalam hal 1 (satu) BHP memiliki lebih dari 1 (satu) pemimpin satuan
pendidikan, kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan
dalam anggaran dasar BHP.
(5) Tata cara pengangkatan dan pemberhentian pemimpin satuan pendidikan
ditetapkan dalam anggaran dasar BHP.
(6) Pemimpin satuan pendidikan dapat dibantu oleh seorang atau lebih wakil
yang diangkat dan diberhentikan oleh pemimpin satuan pendidikan
berdasarkan anggaran dasar BHP dan anggaran rumah tangga BHP.
(7) Masa jabatan pemimpin satuan pendidikan selama 5 (lima) tahun dan
dapat dipilih kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan.
Pasal 28
(1) Tugas dan wewenang satuan pendidikan anak usia dini jalur formal serta
pendidikan dasar dan menengah adalah:
a. menyusun rencana strategis satuan pendidikan berdasarkan kebijakan
akademik yang ditetapkan organ penentu kebijakan umum tertinggi;
b. menyusun rencana kerja dan anggaran tahunan satuan pendidikan
berdasarkan rencana strategis satuan pendidikan untuk disahkan oleh
organ penentu kebijakan umum tertinggi;
c. menyelenggarakan pendidikan sesuai rencana kerja dan rencana
anggaran tahunan satuan pendidikan yang telah disahkan;
d. mengangkat dan memberhentikan pejabat di bawah pemimpin satuan
pendidikan serta tenaga BHP berdasarkan anggaran dasar BHP,
anggaran rumah tangga BHP, dan peraturan perundang-undangan;
e. melaksanakan fungsi-fungsi manajemen satuan pendidikan; serta
f. membina dan mengembangkan hubungan baik satuan pendidikan
dengan lingkungan satuan pendidikan dan masyarakat pada
umumnya.
(2) Tugas dan wewenang satuan pendidikan tinggi adalah:
14
a. menyusun rencana strategis satuan pendidikan berdasarkan kebijakan
akademik yang ditetapkan oleh organ penentu kebijakan akademik
untuk disahkan oleh organ penentu kebijakan umum tertinggi;
b. menyusun rencana kerja dan rencana anggaran tahunan satuan
pendidikan berdasarkan rencana strategis satuan pendidikan untuk
disahkan oleh organ penentu kebijakan umum tertinggi;
c. menyelenggarakan pendidikan sesuai rencana kerja dan rencana
anggaran tahunan satuan pendidikan yang telah disahkan;
d. menyelenggarakan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat
sesuai dengan rencana kerja dan rencana anggaran tahunan satuan
pendidikan yang telah disahkan;
e. mengangkat dan memberhentikan pejabat di bawah pemimpin satuan
pendidikan serta tenaga BHP berdasarkan anggaran dasar BHP,
anggaran rumah tangga BHP, dan peraturan perundang-undangan;
f. melaksanakan fungsi-fungsi manajemen satuan pendidikan; serta
g. membina dan mengembangkan hubungan baik satuan pendidikan
dengan lingkungan satuan pendidikan dan masyarakat pada
umumnya.
(3) Pemimpin satuan pendidikan tidak berwenang mewakili satuan pendidikan
atau BHP apabila:
a. terjadi perkara di depan pengadilan antara satuan pendidikan atau
BHP dengan pemimpin satuan pendidikan; dan
b. pemimpin satuan pendidikan mempunyai kepentingan yang
bertentangan dengan kepentingan satuan pendidikan atau BHP.
(4) Dalam hal terjadi keadaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), organ
penentu kebijakan umum tertinggi menunjuk seseorang untuk mewakili
kepentingan satuan pendidikan atau BHP.
Pasal 29
Pemimpin satuan pendidikan dan wakilnya dilarang merangkap:
a. jabatan pimpinan dan jabatan lain pada satuan pendidikan lain;
b. jabatan lain pada lembaga pemerintah pusat atau daerah; atau
c. jabatan lain yang dapat menimbulkan pertentangan kepentingan
dengan kepentingan satuan pendidikan.
Pasal 30
Dalam 1 (satu) BHP tidak boleh dilakukan perangkapan jabatan
antarpemimpin organ dalam BHP yang menjalankan fungsi sebagaimana
dimaksud pada Pasal 13 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3).
15
BAB IV
KEKAYAAN
Pasal 31
(1) Kekayaan BHP berasal dari kekayaan pendiri yang dipisahkan menjadi
kekayaan BHP.
(2) Kekayaan dan penerimaan pendapatan serta sisa hasil kegiatan BHP
adalah milik BHP dan dikelola secara mandiri oleh BHP itu.
(3) Kekayaan dan penerimaan pendapatan serta sisa hasil kegiatan BHP
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan ayat (2) digunakan baik secara
langsung maupun tidak langsung untuk:
a. kepentingan peserta didik dalam proses pembelajaran pada satuan
pendidikan pendidikan anak usia dini jalur formal, satuan pendidikan
dasar, dan satuan pendidikan menengah; serta
b. pelaksanaan tridharma perguruan tinggi pada satuan pendidikan
pendidikan tinggi.
(4) Semua bentuk penerimaan pendapatan dan sisa hasil kegiatan BHPP dan
BHPPD yang diperoleh dari penggunaan kekayaan negara yang telah
dipisahkan sebagai kekayaan BHPP dan BHPPD, tidak termasuk
pendapatan negara bukan pajak.
Pasal 32
Kekayaan BHP, semua bentuk penerimaan pendapatan BHP, dan sisa hasil
kegiatan BHP berupa uang, barang, atau bentuk lain yang dapat dinilai
dengan uang milik BHP, dilarang dialihkan kepemilikannya secara langsung
atau tidak langsung kepada siapa pun, kecuali ditetapkan dalam anggaran
dasar BHP.
BAB V
PENDANAAN
Pasal 33
(1) Sumber dana untuk pendidikan formal yang diselenggarakan BHP
ditetapkan berdasarkan prinsip keadilan, kecukupan, dan keberlanjutan.
(2) Pendanaan pendidikan formal yang diselenggarakan BHP menjadi
tanggung jawab bersama antara Pemerintah, pemerintah daerah, dan
masyarakat sesuai peraturan perundang-undangan.
(3) Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab dalam penyediaan
dana pendidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (4) Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
(4) Dana pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang disalurkan
untuk BHP diterima dan dikelola oleh satuan pendidikan.
Pasal 34
(1) Pemerintah dan pemerintah daerah menanggung seluruh biaya pendidikan
untuk BHPP dan BHPPD dalam menyelenggarakan pendidikan dasar
16
untuk biaya operasional, biaya investasi, beasiswa, dan bantuan biaya
pendidikan bagi peserta didik, berdasarkan standar pelayanan minimal
untuk mencapai standar nasional pendidikan.
(2) Pemerintah dan pemerintah daerah menanggung sekurang-kurangnya dua
per tiga biaya pendidikan untuk BHPP dan BHPPD yang
menyelenggarakan pendidikan menengah untuk biaya operasional, biaya
investasi, beasiswa, dan bantuan biaya pendidikan bagi peserta didik pada
BHPP berdasarkan standar pelayanan minimal untuk mencapai standar
nasional pendidikan.
(3) Pemerintah menanggung sekurang-kurangnya dua per tiga biaya
pendidikan untuk BHPP yang menyelenggarakan pendidikan tinggi untuk
biaya operasional, biaya investasi, beasiswa, dan bantuan biaya
pendidikan bagi peserta didik pada BHPP sesuai dengan standar nasional
pendidikan.
(4) Peserta didik dapat ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan
sesuai dengan kemampuannya, orang tua, atau pihak yang bertanggung
jawab membiayai.
(5) Biaya penyelenggaraan pendidikan sebagaimana yang dimaksud pada ayat
(4) yang ditanggung oleh seluruh peserta didik dalam pendanaan
pendidikan menengah atau pendidikan tinggi pada BHPP atau BHPPD
sebanyak-banyaknya satu per tiga dari seluruh biaya operasional.
(6) Dana pendidikan dari Pemerintah dan pemerintah daerah pada BHP
diberikan dalam bentuk hibah sesuai peraturan perundang-undangan.
Pasal 35
(1) BHP dapat mendirikan badan usaha berbadan hukum sesuai dengan
peraturan perundang-undangan untuk memenuhi pendanaan pendidikan.
(2) Seluruh laba yang diperoleh dari badan usaha sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) digunakan untuk memajukan satuan pendidikan dan memberikan
pelayanan pendidikan kepada peserta didik.
Pasal 36
(1) Pemerintah dan Pemerintah daerah menanggung dana pendidikan untuk
BHPM dalam menyelenggarakan program wajib belajar pendidikan dasar,
untuk biaya operasional, biaya investasi, beasiswa, dan bantuan biaya
pendidikan bagi peserta didik pada BHPM tersebut sesuai dengan standar
pelayanan minimal untuk mencapai standar nasional pendidikan
(2) Pemerintah dan/atau pemerintah daerah memberikan bantuan dana
pendidikan pada BHPM.
(3) Dana pendidikan dari Pemerintah dan pemerintah daerah pada BHP
diberikan dalam bentuk hibah sesuai peraturan perundang-undangan.
Pasal 37
(1) Masyarakat dapat memberikan dana pendidikan pada BHP yang tidak
mengikat serta tidak bertentangan dengan anggaran dasar BHP dan
17
peraturan perundang-undangan, untuk biaya investasi, biaya operasi, dan
beasiswa atau bantuan biaya pendidikan bagi peserta didik.
(2) Dana pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa
antara lain sumbangan pendidikan, hibah, wakaf, zakat, pembayaran
nadzar, pinjaman, sumbangan perusahaan, dan penerimaan lain yang sah.
(3) Pemerintah dan pemerintah daerah memberikan kemudahan atau insentif
perpajakan kepada masyarakat yang memberikan dana pendidikan pada
BHP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).
Pasal 38
(1) BHP mengalokasikan beasiswa atau bantuan biaya pendidikan bagi
peserta didik yang kurang mampu secara ekonomi dan/atau peserta didik
yang memiliki potensi akademik tinggi paling sedikit 20% dari jumlah
seluruh peserta didik di dalam satuan pendidikan yang
diselenggarakannya.
(2) Beasiswa atau bantuan biaya pendidikan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) ditanggung oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai beasiswa dan bantuan biaya pendidikan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan
peraturan organ penentu kebijakan umum tertinggi BHP.
BAB VI
AKUNTABILITAS DAN PENGAWASAN
Pasal 39
(1) Akuntabilitas BHP pada masyarakat terdiri atas akuntabilitas akademik
dan akuntabilitas non-akademik.
(2) Untuk mewujudkan akuntabilitas BHP, jumlah maksimum peserta didik
dalam setiap satuan pendidikan harus sesuai dengan kapasitas sarana
dan prasarana, pendidik dan tenaga kependidikan, pelayanan, serta
sumber daya pendidikan lainnya.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai jumlah maksimum peserta didik
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 40
(1) Pengawasan BHP dilakukan melalui sistem laporan tahunan yang terdiri
atas laporan satuan pendidikan dan laporan BHP.
(2) Laporan satuan pendidikan dan laporan BHP meliputi laporan bidang
akademik dan laporan bidang non-akademik.
(3) Laporan bidang akademik meliputi laporan penyelenggaraan pendidikan,
penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.
(4) Laporan bidang non-akademik meliputi laporan manajemen dan laporan
keuangan.
18
Pasal 41
(1) Satuan pendidikan menyusun dan menyampaikan laporan tahunan
satuan pendidikan secara tertulis kepada organ penentu kebijakan umum
tertinggi.
(2) Satuan pendidikan dibebaskan dari tanggung jawab, setelah laporan
tahunan satuan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima
dan disahkan oleh organ penentu kebijakan umum tertinggi.
(3) Dalam hal setelah pengesahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
terdapat hal baru yang membuktikan sebaliknya, maka pengesahan
tersebut dapat dibatalkan oleh organ penentu kebijakan umum tertinggi.
Pasal 42
(1) Organ penentu kebijakan umum tertinggi menyusun laporan tahunan BHP
secara tertulis berdasarkan laporan tahunan satuan pendidikan untuk
dilaporkan dalam rapat pleno organ penentu kebijakan umum tertinggi.
(2) Laporan tahunan BHP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dievaluasi
oleh dan di dalam rapat pleno organ penentu kebijakan umum tertinggi.
(3) Laporan tahunan BHP disertai hasil evaluasi rapat pleno secara tertulis
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberitahukan oleh organ penentu
kebijakan umum tertinggi kepada:
a. Menteri, Menteri Agama, menteri lain, atau kepala Lembaga
Pemerintah Non-Departemen, bagi BHPP sesuai kewenangan masingmasing;
b. Gubernur, Bupati, atau Walikota, bagi BHPPD sesuai kewenangan
masing-masing; dan
c. Pendiri BHP, bagi BHPM.
Pasal 43
(1) Laporan keuangan tahunan BHP, sebagai bagian yang tidak terpisahkan
dari laporan tahunan BHP, disusun mengikuti standar akuntansi yang
berlaku.
(2) Dalam hal BHP mengelola lebih dari 1 (satu) satuan pendidikan, laporan
keuangan tahunan BHP merupakan laporan keuangan tahunan
konsolidasi.
(3) Laporan keuangan tahunan BHP yang menyelenggarakan pendidikan
tinggi, harus dipertanggungjawabkan kepada publik melalui pemuatan di
media cetak berbahasa Indonesia, dan penempelan di papan pengumuman
resmi setiap satuan pendidikan yang dikelolanya.
(4) Dalam hal BHP menerima dan menggunakan dana dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara, BHP harus menyusun laporan
penerimaan dan penggunaan dana tersebut dan melaporkan kepada
Menteri Keuangan sesuai peraturan perundang-undangan.
(5) Dalam hal BHP menerima dan menggunakan dana dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah, BHP harus menyusun laporan
19
penerimaan dan penggunaan dana tersebut dan melaporkan kepada
Gubernur, Bupati, atau Walikota menurut kewenangan masing-masing,
sesuai peraturan perundang-undangan.
Pasal 44
(1) Laporan keuangan tahunan BHP diaudit oleh akuntan publik.
(2) Dalam hal BHP memperoleh hibah dari Pemerintah dan/atau pemerintah
daerah, maka Badan Pemeriksa Keuangan, Inspektorat Jenderal
Departemen terkait, atau Badan Pengawasan Daerah sesuai dengan
kewenangan masing-masing dapat melakukan audit terhadap laporan
keuangan tahunan BHP, terbatas pada bagian penerimaan dan
penggunaan hibah tersebut.
Pasal 45
(1) Administrasi dan laporan keuangan tahunan BHP merupakan tanggung
jawab pemimpin satuan pendidikan.
(2) Dalam hal BHP mengelola lebih dari 1 (satu) satuan pendidikan, pihak
yang bertanggung jawab menyusun konsolidasi laporan keuangan
tahunan BHP ditetapkan dalam anggaran dasar BHP.
Pasal 46
Ketentuan lebih lanjut mengenai akuntabilitas dan pengawasan BHP
ditetapkan dalam anggaran dasar BHP.
BAB VII
KETENAGAAN
Pasal 47
(1) Tenaga BHP terdiri atas pendidik, tenaga kependidikan, dan tenaga
penunjang.
(2) Tenaga BHP berstatus pegawai negeri sipil yang dipekerjakan dan/ atau
pegawai non-pemerintah.
(3) Tenaga BHP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) membuat perjanjian
kerja dengan BHP.
(4) Pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memperoleh
remunerasi dari:
a. Pemerintah atau pemerintah daerah sesuai peraturan perundangundangan,
dan
b. BHP sesuai ketentuan dalam anggaran dasar BHP dan anggaran
rumah tangga BHP.
(5) Pengangkatan dan pemberhentian jabatan serta hak dan kewajiban tenaga
BHP dengan status sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dalam
perjanjian kerja berdasarkan anggaran dasar BHP, anggaran rumah tangga
BHP, serta peraturan perundang-undangan.
20
(6) Perjanjian kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dibuat antara
pemimpin satuan pendidikan yang bertindak untuk dan atas nama organ
penentu kebijakan umum tertinggi dengan setiap tenaga BHP.
(7) Penyelesaian perselisihan yang timbul antara pendidik serta tenaga
kependidikan dan BHP diatur dalam anggaran dasar BHP.
(8) Jika penyelesaian perselisihan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) tidak
berhasil, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Pengadilan Tata Usaha
Negara.
(9) Ketentuan lebih lanjut mengenai tenaga BHP sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) ditetapkan dalam anggaran dasar dan anggaran rumah tangga
BHP.
BAB VIII
PENGGABUNGAN
Pasal 48
(1) Penggabungan BHP dapat dilakukan melalui:
a. dua atau lebih BHP bergabung menjadi satu BHP baru; atau
b. satu atau lebih BHP bergabung dengan BHP lain.
(2) Dengan penggabungan BHP sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
keberadaan BHP yang bergabung berakhir karena hukum.
(3) Aktiva dan pasiva BHP yang bergabung beralih karena hukum ke BHP
baru atau BHP yang menerima penggabungan.
(4) Aktiva dan pasiva sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dibukukan dan
dilaporkan sesuai dengan standar akuntansi yang berlaku dan harus
dimanfaatkan untuk kepentingan pendidikan.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penggabungan BHP diatur
dalam Peraturan Pemerintah.
BAB IX
PEMBUBARAN
Pasal 49
BHP bubar karena:
a. jangka waktu yang ditetapkan dalam anggaran dasar BHP berakhir;
b. tujuan BHP yang ditetapkan dalam anggaran dasar BHP tidak atau sudah
tercapai;
c. putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
berdasarkan alasan:
1) BHP melanggar ketertiban umum, kesusilaan, dan/atau peraturan
perundang-undangan;
2) BHP tidak mampu membayar hutangnya setelah dinyatakan pailit;
dan/atau
21
3) harta kekayaan BHP tidak cukup untuk melunasi hutangnya setelah
pernyataan pailit dicabut.
Pasal 50
(1) Dalam hal BHP bubar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49, BHP:
a. wajib diikuti dengan likuidasi; dan
b. tidak dapat lagi melakukan perbuatan hukum, kecuali diperlukan
untuk pemberesan semua urusan BHP dalam rangka likuidasi.
(2) Dalam hal BHP bubar karena alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
49 huruf a dan huruf b, organ penentu kebijakan umum tertinggi
menunjuk likuidator untuk menyelesaikan penanganan kekayaan BHP.
(3) Dalam hal BHP bubar karena putusan pengadilan, pengadilan menunjuk
likuidator untuk menyelesaikan penanganan kekayaan BHP.
(4) Dalam hal BHP bubar karena pailit, berlaku peraturan perundangundangan
di bidang kepailitan.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penanganan kekayaan BHP yang
bubar atau dibubarkan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
BAB X
SANKSI ADMINISTRATIF
Pasal 51
(1) Dalam hal keputusan yang diambil organ BHP melanggar anggaran dasar
BHP, anggaran rumah tangga BHP, dan/atau peraturan perundangundangan,
maka Menteri, Menteri Agama, menteri lain, kepala Lembaga
Pemerintah Non-Departemen, Gubernur, Bupati, atau Walikota sesuai
dengan kewenangan masing-masing dapat membatalkan keputusan
tersebut atau mencabut izin satuan pendidikan.
(2) Pencabutan izin satuan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diumumkan di media cetak berbahasa Indonesia.
BAB XI
SANKSI PIDANA
Pasal 52
(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada
Pasal 32 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun.
(2) Selain pidana penjara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pelanggar
juga dikenai pidana tambahan berupa kewajiban mengembalikan uang,
barang, atau bentuk lain yang dialihkan.
22
BAB XII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 53
Pada saat undang-undang ini berlaku, izin satuan pendidikan formal yang
sudah dikeluarkan dinyatakan tetap berlaku sampai izin tersebut berakhir
masa berlakunya atau sampai dicabut sebelum masa berlakunya berakhir.
Pasal 54
(1) Satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau
pemerintah daerah sebelum Undang-Undang ini berlaku diakui
keberadaannya dan tetap dapat menyelenggarakan pendidikan formal.
(2) Satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau
pemerintah daerah harus mengubah bentuk dan menyesuaikan tata
kelolanya sebagai BHPP dan BHPPD menurut Undang-Undang ini, paling
lambat 6 (enam) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan.
(3) Satuan pendidikan sebagaimana dimaksud ayat (1) tetap memperoleh
alokasi dana pendidikan seperti yang selama ini telah diperoleh paling
lama 6 (enam) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan,
dan selanjutnya memperoleh alokasi dana pendidikan sesuai dengan Pasal
34 ayat (5).
(4) Perubahan bentuk dan penyesuaian tata kelola satuan pendidikan sebagai
BHPP dan BHPPD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan
Peraturan Pemerintah atau Peraturan Daerah.
Pasal 55
(1) Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara yang telah
menyelenggarakan pendidikan formal sebelum Undang-Undang ini
berlaku, diakui keberadaannya sebagai BHP satuan pendidikan berbentuk
BHPP.
(2) Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara sebagai BHP satuan
pendidikan yang berbentuk BHPP harus menyesuaikan tata kelolanya
sebagai BHPP menurut Undang-Undang ini, paling lambat 3 (tiga) tahun
sejak Undang-Undang ini diundangkan.
(3) Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara sebagaimana dimaksud ayat
(1) tetap memperoleh alokasi dana pendidikan seperti yang selama ini telah
diperoleh paling lama 3 (tiga) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini
diundangkan, dan selanjutnya memperoleh alokasi dana pendidikan
sesuai dengan Pasal 34 ayat (5).
(4) Penyesuaian tatakelola sebagai BHPP sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilakukan dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 56
(1) Yayasan, perkumpulan, badan hukum di bidang pendidikan, dan badan
hukum lain sejenis yang telah menyelenggarakan pendidikan formal
sebelum Undang-Undang ini berlaku diakui keberadaannya sebagai BHP
penyelenggara berbentuk BHPM.
23
(2) Sebagai BHP penyelenggara berbentuk BHPM, Yayasan, perkumpulan,
badan hukum di bidang pendidikan yang bertindak sebagai nazhir, dan
badan hukum lain sejenis harus menyesuaikan tata kelolanya sebagai
BHPM menurut Undang-Undang ini, paling lambat 6 (enam) tahun sejak
Undang-Undang ini diundangkan.
(3) Yayasan, perkumpulan, badan hukum di bidang pendidikan yang
bertindak sebagai nazhir, dan badan hukum lain sejenis sebagaimana
dimaksud pasal ayat (1) tetap memperoleh bantuan dana pendidikan
seperti yang selama ini telah diperoleh paling lama 6 (enam) tahun
terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan, dan selanjutnya
memperoleh bantuan dana pendidikan sesuai dengan Pasal 34 ayat (5).
(4) Penyesuaian tata kelola sebagai BHPM sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dilakukan dengan akta notaris.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai biaya pembuatan akta notaris
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah.
BAB XIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 57
Semua peraturan perundang-undangan yang diperlukan untuk melaksanakan
Undang-Undang ini harus ditetapkan paling lambat 2 (dua) tahun terhitung
sejak Undang-Undang ini diundangkan.
Pasal 58
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundang-an
Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Disahkan di Jakarta,
pada tanggal …..................
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal …..................
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,
ANDI MATTALATTA
24
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN …... NOMOR …..
25
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR … TAHUN …
TENTANG
BADAN HUKUM PENDIDIKAN
I. UMUM
Dalam rangka reformasi di bidang pendidikan, Undang-Undang No. 20
tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) telah
disusun berdasarkan visi pendidikan nasional. Visi tersebut adalah
terwujudnya sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan
berwibawa, untuk memberdayakan semua warga negara Indonesia agar
berkembang menjadi manusia yang berkualitas, sehingga mampu dan
proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah. Selanjutnya, UU
Sisdiknas juga menyatakan bahwa gerakan reformasi menuntut penerapan
prinsip-prinsip:
a. pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta
tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai
keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa;
b. pendidikan diselenggarakan sebagai satu kesatuan yang sistemik
dengan sistem terbuka dan multimakna;
c. pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan
pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat;
d. pendidikan diselenggarakan dengan memberi keteladanan, membangun
kemauan, dan mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses
pembelajaran;
e. pendidikan diselenggarakan dengan mengembangkan budaya membaca,
menulis, dan berhitung bagi segenap warga masyarakat;
f. pendidikan diselenggarakan dengan memberdayakan semua komponen
masyarakat melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan
pengendalian mutu layanan pendidikan.
Menurut UU Sisdiknas, perubahan mendasar pada manajemen sistem
pendidikan adalah pelaksanaan manajemen pendidikan berbasis
sekolah/madrasah pada tingkat pendidikan dasar dan menengah, serta
otonomi perguruan tinggi pada tingkat pendidikan tinggi. Manajemen
pendidikan berbasis sekolah/madrasah adalah bentuk otonomi manajemen
pendidikan pada kepala sekolah/ madrasah dan guru dibantu oleh komite
sekolah/madrasah dalam mengelola kegiatan pendidikan. Sedangkan yang
dimaksud dengan otonomi perguruan tinggi adalah kemandirian perguruan
tinggi untuk mengelola sendiri lembaganya.
Di samping itu, UU Sisdiknas sebagaimana dikemukakan dalam Penjelasan
Umum, menghendaki pembaharuan sistem pendidikan yang meliputi
penghapusan diskriminasi antara pendidikan yang dikelola pemerintah dan
26
pendidikan yang dikelola masyarakat, serta pembedaan antara pendidikan
keagamaan dan pendidikan umum. Dengan demikian, masyarakat akan
mendapat kepastian hukum dalam memperoleh pelayanan pendidikan
secara tidak diskriminatif dari sekolah/madrasah atau perguruan tinggi,
baik yang didirikan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, maupun
masyarakat.
Untuk mewujudkan amanat UU Sisdiknas sebagaimana dikemukakan di
atas, maka Pasal 53 UU Sisdiknas memerintahkan agar penyelenggara
dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau
masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan. Sehubungan dengan itu,
Pasal 53 ayat (4) UU Sisdiknas memerintahkan agar ketentuan tentang
badan hukum pendidikan ditetapkan dengan undang-undang tersendiri.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Manajemen berbasis sekolah/madrasah adalah bentuk otonomi
manajemen pendidikan pada satuan pendidikan, yang dalam hal ini
kepala sekolah/madrasah dan guru dibantu oleh komite
sekolah/madrasah dalam mengelola kegiatan pendidikan. Sedangkan
yang dimaksud dengan otonomi perguruan tinggi adalah kemandirian
perguruan tinggi untuk mengelola sendiri lembaganya.
Pasal 4
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas.
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas.
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, non formal, dan
informal. Adapun jenjang pendidikan formal terdiri atas
pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi.
Sedangkan jenis pendidikan mencakup pendidikan umum,
kejuruan, akademik, profesi, vokasi, keagamaan, dan khusus.
27
Pada dasarnya BHPP hanya dapat mengelola 1 (satu) jenjang
pendidikan dalam 1 (satu) satuan pendidikan, kecuali BHPP
binaan Departemen Agama dapat mengelola lebih dari 1 (satu)
jenjang, jenis dan/atau satuan pendidikan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Setelah Undang-Undang ini berlaku, Pemerintah, pemerin-tah
daerah, dan masyarakat yang akan menyelenggarakan pendidikan
formal tidak perlu lagi mendirikan BHMN, yayasan, badan hukum
di bidang pendidikan yang bertindak sebagai nazhir,
perkumpulan, atau badan hukum sejenis, melainkan langsung
mendirikan BHPP, BHPPD, atau BHPM.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Orang perseorangan adalah subyek hukum berupa manusia
sebagai individu pengemban hak dan kewajiban.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Dalam hal BHP yang didirikan merupakan BHP yang sama
sekali baru, maka BHP harus membentuk organ yang
bertugas membentuk organ-organ lain di dalam BHP. Organ
tersebut adalah organ penentu kebijakan umum tertinggi.
Unsur anggota dan pimpinan organ penentu kebijakan
umum tertinggi pada BHP yang sama sekali baru tentu
belum dapat diisi sesuai komposisi yang ditetapkan pada
Pasal 14 ayat (3), sehingga komposisinya ditetapkan oleh
pendiri.
Ayat (4)
Kekayaan yang dipisahkan dari kekayaan pendiri menjadi
kekayaan BHP akan dimanfaatkan sebagai biaya operasional BHP
yang sama sekali baru didirikan. Oleh karena itu kekayaan yang
dimaksud berbentuk dana pendidikan. Sedangkan besaran dana
pendidikan yang dipandang memadai adalah 3 kali biaya
operasional BHP pertahun. Dengan demikian, apabila BHP bubar
28
atau dinyatakan pailit, maka masih tersedia biaya operasional
yang memadai untuk meyelenggarakan pendidikan bagi peserta
didik yang belum menyelesaikan pendidikannya. Lahan dan/atau
bangunan dapat dikecualikan dari kekayaan yang dipisahkan oleh
pendiri sebagai kekayaan BHP.
Pasal 9
Ayat (1)
Keterangan lain memuat sekurang kurangnya nama, tanggal
lahir, alamat, dan pekerjaan pendiri, atau nama, tempat
kedudukan, alamat, dan bukti badan hukum yang mendirikan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Apabila para pendiri BHPM melakukan perbuatan hukum untuk
kepentingan BHPM sebelum akta notaris tentang pendirian BHPM
disahkan oleh Menteri, maka tanggung-jawab atas perbuatan
hukum tersebut merupakan tang-gungjawab pribadi para pendiri
tersebut.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 11
Ayat (1)
Ketika BHP yang sama sekali baru dibentuk, BHP belum memiliki
organ penentu kebijakan akademik, organ audit bidang nonakademik,
dan satuan pendidikan, sehingga merupakan tugas dan
wewenang organ penentu kebijakan umum tertinggi untuk
membentuk organ-organ tersebut setelah BHP dinyatakan sah.
Ayat (2)
Ketentuan ini merupakan keharusan sebagaimana diatur dalam
Pasal 62 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional, yang mengatur bahwa setiap satuan
pendidikan formal dan nonformal yang didirikan harus
memperoleh izin Pemerintah atau pemerintah daerah.
Pasal 12
Ayat (1)
29
Keharusan untuk bekerjasama dengan BHP Indonesia dalam
mendirikan BHP di Indonesia, bertujuan agar kepentingan
Nasional dalam bidang pendidikan dapat dilindungi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 13
Ayat (1)
Penggunaan istilah ‘sekurang-kurangnya’ menunjukkan bahwa
untuk mengakomodasi kekhasan tata kelola pendidikan yang
telah ada, Undang-Undang ini hanya mengatur 2 (dua) fungsi
pokok minimal berdasarkan manajemen berbasis sekolah.
Keberadaan fungsi pokok lain yang dibutuhkan oleh suatu BHP
karena kekhasannya, dapat ditetapkan di dalam anggaran dasar
BHP.
Ayat (2)
Penggunaan istilah ‘sekurang-kurangnya’ menunjukkan bahwa
untuk mengakomodasi kekhasan tata kelola pendidikan yang
telah ada, Undang-Undang ini hanya mengatur 4 (empat) fungsi
pokok minimal berdasarkan otonomi perguruan tinggi.
Keberadaan fungsi pokok lain yang dibutuhkan oleh suatu BHP
karena kekhasannya, dapat ditetapkan di dalam anggaran dasar
BHP.
Ayat (3)
BHP dapat menetapkan fungsi lain untuk melaksanakan kegiatan
yang relevan dengan pendidikan. Misalnya, BHP dapat
menetapkan keberadaan fungsi perumusan etika akademik dan
keikutsertaan dalam menjaga kebebasan akademik, kebebasan
mimbar, dan otonomi keilmuan, dengan membentuk
Majelis/Dewan Guru Besar sebagai organ BHP yang mengelola
pendidikan tinggi.
Ayat (4)
Untuk badan hukum milik negara yang sekarang telah ada dapat
tetap menggunakan nama Majelis Wali Amanat sebagai organ yang
menjalankan fungsi penentuan kebijakan umum tertinggi; Senat
Akademik sebagai organ yang menjalankan fungsi penentuan
kebijakan akademik; Dewan Audit sebagai organ yang
menjalankan fungsi audit bidang non-akademik; dan universitas,
institut, sekolah tinggi, akademi, atau politeknik sebagai organ
yang menjalankan fungsi pengelolaan pendidikan.
Sedangkan bagi yayasan yang telah menyelenggarakan pendidikan
tinggi, dapat tetap menggunakan nama organ Pembina dan
Pengurus sebagai organ BHP yang menjalankan fungsi penentuan
kebijakan umum tertinggi; organ Pengawas sebagai organ BHP
yang menjalankan fungsi audit bidang non-akademik; universitas,
30
institut, sekolah tinggi, akademi, atau politeknik sebagai organ
BHP yang menjalankan fungsi penelolaan pendidikan, dan
menambahkan satu organ baru dalam BHP, yaitu senat akademik
sebagai organ yang menjalankan fungsi penentuan kebijakan
akademik.
Pasal 14
Ayat (1)
Dalam hal terdapat badan hukum penyelenggara pendidikan yang
pada saat Undang-Undang ini berlaku, mengelola lebih dari 1
(satu) satuan pendidikan di beberapa daerah di Indonesia, maka
badan hukum penyelenggara tersebut diakui sebagai 1 (satu)
BHPM yang dapat mengelola sejumlah satuan pendidikan di
beberapa daerah tersebut.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 15
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Sebagai organ tertinggi BHP, organ penentu kebijakan umum
tertinggi merupakan pemegang kewenangan tertinggi di dalam
BHP, dan puncak pertanggungjawaban dari semua organ BHP.
Ayat (3)
Organ penentu kebijakan umum tertinggi dibentuk untuk
menciptakan akuntabilitas dan transparansi penyeleng-garaan
pendidikan anak usia dini jalur formal serta pendidikan dasar dan
menengah, sehingga organ penentu kebijakan umum tertinggi
mengikutsertakan seluruh pihak yang berkepentingan
(stakeholders) dari satuan pendidikan dalam pengambilan
berbagai kebijakan umum.
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Wakil dari tenaga kependidikan, antara lain tenaga BHP
yang bukan pendidik.
Huruf e
Komite sekolah/madrasah merupakan lembaga man-diri
yang dibentuk dan berperan dalam peningkatan mutu
pelayanan, dengan memberikan pertimbangan, arahan dan
dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan
pendidikan pada tingkat satuan pendidikan.
Ayat (4)
31
Organ penentu kebijakan umum tertinggi dibentuk untuk
menciptakan akuntabilitas dan transparansi penyeleng-garaan
pendidikan tinggi, sehingga organ penentu kebijakan umum
tertinggi mengikutsertakan seluruh pihak yang berkepentingan
(stakeholders) dari satuan pendidikan dalam pengambilan
berbagai kebijakan umum.
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Wakil dari tenaga kependidikan, antara lain tenaga BHP
yang bukan pendidik.
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan wakil dari unsur lain, misalnya:
a. wakil orang tua/wali peserta didik pada pendidikan dasar dan
menengah;
b. wakil alumni satuan pendidikan pada pendidikan tinggi;
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 16
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Ketentuan bahwa 2/3 (dua per tiga) dari jumlah anggota organ
penentu kebijakan umum tertinggi bukan berasal dari wakil dari
pemimpin satuan pendidikan, dan wakil dari pendidik dan wakil
dari tenaga kependidikan, dimaksudkan agar terwujud
akuntabilitas dan transparansi di dalam organ penentu kebijakan
umum tertinggi, di samping optimalisasi partisipasi pihak-pihak
yang berkepentingan (stakeholders) dalam pendidikan.
Ayat (3)
Ketentuan bahwa 2/3 (dua per tiga) dari jumlah anggota organ
penentu kebijakan umum tertinggi bukan berasal dari wakil dari
organ penentu kebijakan akademik, pemimpin satuan pendidikan,
dan wakil dari tenaga kependidikan, dimaksudkan agar terwujud
akuntabilitas dan transparansi di dalam organ penentu kebijakan
umum tertinggi, di samping optimalisasi partisipasi pihak-pihak
yang berkepentingan (stakeholders) dalam pendidikan.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 17
32
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Organ ini hanya ada pada BHP yang menyelenggarakan
pendidikan tinggi, karena itu tugas dan wewenang mengangkat
dan memberhentikan ketua serta anggota organ audit bidang nonakademik
hanya ada dalam BHP yang menyelenggarakan
pendidikan tinggi.
Huruf f
Organ ini hanya ada pada BHP yang menyelenggarakan
pendidikan tinggi, karena itu tugas dan wewenang mengesahkan
pimpinan dan keanggotaan organ penentu kebijakan akademik
hanya ada dalam BHP yang menyeleng-garakan pendidikan tinggi.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Organ penentu kebijakan umum tertinggi dapat menetapkan
pendirian berbagai badan usaha, baik berbadan hukum maupun
tidak berbadan hukum, untuk menggalang dana pengembangan
satuan pendidikan.
Huruf k
Jenjang dan tahap penyelesaian masalah BHP, termasuk masalah
keuangan, ditetapkan dalam anggaran dasar BHP.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Ayat (1)
Organ penentu kebijakan akademik lazim dikenal sebagai Senat
Akademik.
33
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Guru besar hanya ada di perguruan tinggi berbentuk
universitas, institut, sekolah tinggi yang menyeleng-garakan
pendidikan akademik, sedangkan di perguru-an tinggi
berbentuk akademi dan politeknik yang menyelenggarakan
pendidikan vokasi, keberadaan guru besar bukan
merupakan keharusan. Karena itu, di dalam organ penentu
kebijakan akademik di lingkungan akademi dan politeknik
tidak harus ada wakil dari guru besar.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “unsur lain” adalah pemimpin unit kerja
yang tugas dan wewenangnya mempunyai relevansi tinggi dengan
perumusan norma dan ketentuan akademik dan dimaksudkan
untuk mengakomodasi kekhasan BHP.
Pasal 22
Ayat (1)
Ketentuan bahwa 2/3 (dua per tiga) dari jumlah anggota organ
penentu kebijakan akademik bukan berasal dari pimpinan satuan
pendidikan, dimaksudkan agar perumusan norma dan ketentuan
akademik dapat dilakukan secara obyektif, tidak terpengaruh oleh
kepentingan pimpinan satuan pendidikan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup Jelas.
Ayat (7)
Cukup Jelas.
Pasal 23
Huruf a
Cukup jelas.
34
Huruf b
Penerapan sistem penjaminan mutu (quality assurance system)
pendidikan pada semua jenjang pendidikan merupakan syarat
mutlak, agar satuan pendidikan mampu mengembangkan mutu
pendidikan secara berkelanjutan (continuous quality improvement
atau kaizen). Sistem penjaminan mutu pendidikan terdiri atas
penjaminan mutu internal yang dilakukan oleh satuan pendidikan
sendiri, dan penjaminan mutu eksternal yang dilakukan oleh
badan akreditasi di luar satuan pendidikan, baik tingkat nasional
maupun tingkat internasional yang diakui oleh Pemerintah atau
pemerintah daerah.
Apabila hal ini dilaksanakan secara konsisten, maka akan
terdapat keselarasan antara biaya pendidikan yang dikeluarkan
dengan nilai mutu pendidikan yang diperoleh peserta didik.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Cukup jelas.
Huruf l
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Ayat (1)
Keberadaan organ audit bidang non-akademik di dalam BHP yang
menyelenggarakan pendidikan anak usia dini jalur formal,
pendidikan dasar dan pendidikan menengah bukan keharusan,
tetapi dalam hal BHP menyelenggarakan lebih dari 1 (satu) jenjang
pendidikan, maka keberadaan organ audit bidang non-akademik
merupakan keharusan.
35
Ayat (2)
Bidang non-akademik meliputi bidang keuangan, bidang sumber
daya manusia, bidang prasarana dan sarana, bidang kehumasan,
dan bidang lain yang tidak termasuk bidang akademik.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Huruf a
Audit dalam bidang non-akademik dapat meliputi audit
keuangan, audit kinerja non-akademik, audit ketaatan,
audit investigatif, dan audit lain yang dipandang perlu oleh
organ audit bidang non-akademik.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 26
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Nama satuan pendidikan digunakan antara lain di dalam kop
surat, dokumen, logo satuan pendidikan, dan bendera satuan
pendidikan.
Pasal 27
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
BHP merupakan subyek hukum yang memiliki hak dan kewajiban
sendiri terpisah dari pendirinya. Dalam melaksanakan hak dan
kewajibannya ke luar BHP, BHP diwakili oleh pemimpin satuan
pendidikan yang bertindak untuk dan atas nama BHP. Luas
36
lingkup kewenangan pemimpin satuan pendidikan dalam
bertindak ke luar untuk dan atas nama BHP ditetapkan dalam
anggaran dasar BHP.
Ayat (4)
1 (satu) BHP dapat mengelola sejumlah satuan pendidikan,
sehingga dalam BHP tersebut terdapat sejumlah pemimpin satuan
pendidikan. Oleh karena itu, anggaran dasar BHP perlu
menetapkan pemimpin satuan pendidikan yang berwenang
bertindak ke luar untuk dan atas nama BHP.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Seseorang dapat menjabat pemimpin satuan pendidikan
sebanyak-banyaknya 2 (dua) kali masa jabatan, baik secara
berurutan atau bersela, termasuk jabatan pemimpin satuan
pendidikan yang pernah didudukinya sebelum dibentuk BHP.
Pasal 28
Ayat (1)
Huruf a
Inti (core) dari rencana strategis satuan pendidikan adalah
kebijakan akademik yang ditetapkan oleh organ penentu
kebijakan umum tertinggi. Atas dasar kebijakan akademik
tersebut dapat direncanakan berbagai program satuan
pendidikan, baik di bidang akademik maupun di bidang
non-akademik sebagai penunjang kegiatan bidang
akademik.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Inti (core) dari rencana strategis satuan pendidikan adalah
kebijakan akademik yang ditetapkan oleh organ penentu
kebijakan akademik. Atas dasar kebijakan akademik
tersebut dapat direncanakan berbagai program satuan
pendidikan, baik di bidang akademik maupun di bidang
non-akademik sebagai penunjang kegiatan bidang
akademik.
Huruf b
37
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Ada atau tidaknya pertentangan kepentingan antara
pemimpin satuan pendidikan dengan kepentingan satuan
pendidikan atau BHP, ditetapkan oleh organ penentu
kebijakan umum tertinggi.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 29
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Ada atau tidaknya pertentangan kepentingan antara kepentingan
satuan pendidikan dengan kepentingan jabatan lain yang
dirangkap oleh pemimpin satuan pendidikan dan wakilnya,
ditetapkan oleh organ penentu kebijakan umum tertinggi.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Ayat (1)
Pemisahan kekayaan berarti dilakukan peralihan hak milik atas
kekayaan tersebut dari pendiri ke BHP.
Ayat (2)
BHP merupakan badan hukum yang otonom, sehingga baik
kekayaan BHP yang telah dipisahkan oleh pendiri, semua
penerimaan pendapatan BHP dari berbagai sumber penerimaan,
maupun sisa lebih sebagai hasil kegiatan yang dijalankan oleh
BHP, berstatus sebagai milik BHP, dan dapat digunakan secara
mandiri oleh BHP untuk menjalankan kegiatannya sesuai dengan
anggaran dasar BHP.
Ayat (3)
38
Cukup jelas.
Ayat (4)
Sebagai konsekuensi dari ketentuan ayat (2) yaitu semua
penerimaan dan sisa lebih BHP merupakan milik BHP, maka
semua penerimaan dan sisa lebih BHP tidak perlu disetorkan ke
kas negara agar menjadi milik negara, sehingga pendapatan BHP
tersebut tidak termasuk pendapatan negara bukan pajak.
Pasal 32
Segala bentuk dan cara pengalihan kepemilikan kekayaan BHP,
penerimaan pendapatan BHP serta sisa lebih hasil kegiatan BHP berupa
uang, barang, atau bentuk lain yang dapat dinilai dengan uang milik
BHP, dilarang untuk dialihkan kepada orang dan/atau badan tertentu,
kecuali telah ditetapkan terlebih dahulu dalam anggaran dasar BHP,
misalnya untuk pembayaran gaji dan honorarium, biaya
penyelenggaraan pendidikan.
Sedangkan yang dimaksud dengan “bentuk lain” antara lain adalah hak
kekayaan intelektual yang dimiliki oleh BHP, atau sistem manajemen
dan prosedur administratif satuan pendidikan milik BHP.
Pasal 33
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Ketentuan ini sesuai dengan Pasal 41 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Ayat (3)
Ketentuan ini sesuai dengan Pasal 46 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Ayat (4)
Dalam hal ini pemimpin satuan pendidikan berwenang menerima
dana yang disalurkan oleh Pemerintah atau pemerintah daerah,
dan mengelola dana tersebut melalui tindakan perencanaan,
pengorganisasian, penggunaan, pengendalian, dan
pertanggungjawaban dana tersebut.
Pasal 34
Ayat (1)
Anggaran pendidikan sebesar 20 % dari APBN atau APBD
sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (4) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan Pasal 49
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, antara lain dialokasikan untuk mendanai
BHP dalam menyelenggarakan pendidikan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Sumbangan pendidikan sesuai dengan kemampuan orang tua
atau pihak yang bertanggungjawab membiayai merupa-kan
39
penerapan prinsip keadilan proporsional, sehingga kekurangannya
diperoleh dari hasil penerapan kebijakan subsidi silang yang
berasal dari peserta didik yang berkemampuan secara ekonomi.
Melalui subsidi silang, kecukupan pendanaan pendidikan akan
terjamin, dan pada gilirannya akan menghasilkan keberlanjutan
pendidikan secara institusional maupun terutama bagi peserta
didik.
Ayat (4)
Dengan kedudukan mandiri sebagai badan hukum, maka secara
hukum BHP berwenang melakukan berbagai perbuatan hukum
untuk menggalang dana, baik dengan mendayagunakan potensi
internal BHP (misalnya penelitian, pemberian jasa oleh
laboratorium, pendidikan berkelanjut-an), maupun dengan
mendirikan atau ikut serta dalam badan usaha yang tidak
bertentangan dengan tujuan pendidikan.
Ayat (5)
Penyaluran anggaran pendidikan dalam bentuk hibah merupakan
amanat Pasal 49 ayat (3) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Ketentuan ini sesuai dengan Penjelasan Pasal 46 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional.
Ayat (3)
Ketentuan ini dimaksudkan sebagai ketentuan khusus terhadap
undang-undang perpajakan berdasarkan prinsip lex specialis
derogat legi generali.
Pasal 38
Ayat (1)
Ketentuan ini merupakan penerapan prinsip keberpihakan kepada
mereka yang tersisih (preferential option for the poor).
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 39
40
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Akuntabilitas BHP antara lain dapat diukur dari ratio antara
pendidik dan peserta didik, ratio antara ruang pembelajaran
dengan peserta didik, alat bantu pembelajaran dengan peserta
didik, komposisi peserta didik asing dengan peserta didik
warganegara, dan lain-lain.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 40
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud laporan manajemen adalah laporan yang berisi
kinerja perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan,
pengendalian BHP maupun satuan pendidikan.
Pasal 41
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Dibebaskan dari tanggungjawab karena laporan tahunan satuan
pendidikan tidak mengandung kekurangan, kekeliruan, atau
kekhilafan.
Ayat (3)
Yang dimaksudkan dengan “hal baru” adalah bukti baru atau
novum .
Pasal 42
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 43
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Ketentuan ini hanya berlaku untuk BHP yang menyeleng-garakan
pendidikan tinggi.
41
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 44
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Berhubung dana hibah berasal Aangaran Pendapatan dan Belanja
Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, maka
otoritas pengawasan negara berhak untuk melakukan audit
keuangan hanya pada bagian keuangan BHP yang berasal dari
hibah.
Pasal 45
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Ayat (1)
Tenaga penunjang merupakan tenaga BHP yang bekerja di dalam
badan usaha yang dapat didirikan oleh BHP.
Ayat (2)
Pegawai negeri sipil yang pada saat Undang-Undang ini berlaku
bekerja di suatu satuan pendidikan dapat memilih antara tetap
menjadi pegawai negeri sipil dipekerjakan pada BHP, atau beralih
menjadi pegawai non pemerintah.
Pegawai non pemerintah adalah tenaga BHP yang diangkat dan
diberhentikan oleh BHP dan tidak berstatus pegawai negeri sipil.
Berdasarkan Pasal 14 ayat (1) huruf a dan Pasal 51 ayat (1) huruf
a Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru Dan
Dosen, tenaga pendidik (guru atau dosen), baik berstatus pegawai
negeri sipil atau pegawai non pemerintah, memiliki hak untuk
memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan
jaminan kesejahteraan sosial. Selanjutnya, diatur pula bahwa
penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum meliputi gaji
pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, serta penghasilan lain
yang berupa tunjangan profesi, tunjangan fungsional, tunjangan
khusus, tunjangan kehormatan (khusus dosen), serta maslahat
tambahan yang terkait dengan tugas sebagai guru atau dosen
yang ditetapkan dengan prinsip penghargaan atas dasar prestasi.
42
Oleh sebab itu, sekalipun tenaga pendidik yang berstatus pegawai
negeri sipil beralih status menjadi pegawai non pemerintah, maka
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru Dan Dosen
menjamin bahwa penghasilannya akan relatif setara dengan
penghasilan sebelumnya.
Ayat (3)
Tenaga BHP yang berstatus pegawai negeri sipil harus tetap
membuat perjanjian dengan BHP, karena sekalipun tenaga
tersebut telah diangkat oleh Pemerintah atau pemerintah daerah,
tetapi yang bersangkutan belum diangkat oleh BHP.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Pasal 48
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 49
Huruf a.
Cukup jelas.
Huruf b.
Yang dimaksud dengan ”tujuan BHP sudah tercapai” antara lain
apabila BHP didirikan dengan tujuan khusus untuk menghasilkan
sejumlah lulusan satuan pendidikan yang diselenggarakannya,
sehingga setelah jumlah tersebut terpenuhi maka BHP bubar.
Huruf c.
Cukup jelas
43
Pasal 50
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 51
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 52
Ayat (1)
Sanksi ini dimaksudkan untuk menegakkan prinsip nirlaba dari
BHP.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Berdasarkan peraturan perundang-undangan, Pemerintah
bertanggungjawab menyelenggarakan pendidikan tinggi, dan
pemerintah daerah bertanggungjawab menyelenggarakan
pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan
dasar, dan pendidikan menengah.
Pada saat Undang-Undang ini berlaku terdapat perguruan tinggi
yang dikelola oleh Pemerintah (dahulu dikenal sebagai perguruan
tinggi negeri/PTN), dan sekolah yang dikelola oleh pemerintah
daerah (dahulu dikenal sebagai sekolah negeri). Baik PTN maupun
sekolah negeri harus mengubah bentuk dan menyesuaikan
tatakelolanya, masing-masing sebagai BHPP dan BHPPD.
Khusus mengenai pembentukan BHPPD yang menyeleng-garakan
pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan
dasar, dan pendidikan menengah berdasarkan Undang-Undang
ini, dapat dilakukan pada tingkat propinsi, kabupaten atau kota.
44
Dengan demikian, di dalam satu propinsi, kabupaten atau kota
cukup didirikan satu BHP pemerintah daerah.
Unsur pendiri atau wakil pendiri di dalam organ penentu
kebijakan umum tertinggi BHPPD adalah Kepala Dinas Pendidikan
propinsi, kabupaten, atau kota setempat.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 55
Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, menyatakan bahwa “penyelenggara dan/atau
satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau
masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan”. Rumusan pasal
tersebut menyebabkan menurut Undang-Undang ini diakui 3 (tiga) jenis
BHP, yaitu BHP penyelenggara, BHP satuan pendidikan, dan BHP
gabungan penyelenggara dan satuan pendidikan. Ketiga jenis BHP
tersebut harus menyesuaikan tatakelolanya pada Undang-Undang ini,
yaitu tatakelola berdasarkan bentuk BHP, yaitu BHPP, BHPPD, dan
BHPM. Secara skematik struktur jenis dan bentuk BHP dapat
digambarkan sebagai berikut:
No
Bentuk
Pemerintah Masyarakat
Jenis Dikti Dikdasmen Dikti Dikdasmen
1 BHP Penyelenggara X X BHPM BHPM
2 BHP Satuan Pend.* BHPP** BHPPD BHPM BHPM
3 BHP Gabungan 1 & 2 X X BHPM BHPM
Keterangan:
* BHMN adalah jenis BHP Satuan Pendidikan.
** Bentuk BHPP adalah tatakelola BHP Satuan Pendidikan berdasarkan Undang-Undang ini.
Ayat (1)
Pada saat Undang-Undang ini berlaku terdapat Badan Hukum
Milik Negara yang tetap diakui keberadaannya, tetapi harus
menyesuaikan tatakelolanya sebagai BHPP.
Ayat (2)
Penyesuaian ini merupakan upaya lebih lanjut untuk menerapkan
prinsip otonomi perguruan tinggi pada BHMN yang
menyelenggarakan pendidikan tinggi. Penerapan prinsip tersebut
akan menghasilkan tatakelola perguruan tinggi yang baik (good
university governance).
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
45
Pasal 56
Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, menyatakan bahwa “penyelenggara dan/atau
satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau
masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan”. Rumusan pasal
tersebut menyebabkan menurut Undang-Undang ini diakui 3 (tiga) jenis
BHP, yaitu BHP penyelenggara, BHP satuan pendidikan, dan BHP
gabungan penyelenggara dan satuan pendidikan. Ketiga jenis BHP
tersebut harus menyesuaikan tatakelolanya pada Undang-Undang ini,
yaitu tatakelola berdasarkan bentuk BHP, yaitu BHPP, BHPPD, dan
BHPM. Secara skematik struktur jenis dan bentuk BHP dapat
digambarkan sebagai berikut:
No
Bentuk
Pemerintah Masyarakat
Jenis Dikti Dikdasmen Dikti Dikdasmen
1 BHP Penyelenggara* X X BHPM** BHPM**
2 BHP Satuan Pend. BHPP BHPPD BHPM BHPM
3 BHP Gabungan 1 & 2 X X BHPM BHPM
Keterangan:
* Yayasan, perkumpulan, wakaf, dan badan hukum sejenis adalah jenis BHP Penyelenggara.
** Bentuk BHPM adalah tatakelola BHP Penyelenggara berdasarkan Undang-Undang ini.
Ayat (1)
Badan hukum yang sebelum Undang-Undang ini berlaku telah
menyelenggarakan pendidikan formal, antara lain yayasan,
perkumpulan, atau badan hukum di bidang pendidikan yang
bertindak sebagai nazhir, tetap diakui keberadaannya sebagai
jenis BHP Penyelenggara dan diberi bentuk sebagai BHPM. Dengan
demikian, yayasan, perkumpulan, atau badan hukum di bidang
pendidikan yang bertindak sebagai nazhir merupakan BHPM
menurut Undang-Undang ini.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang
Yayasan, yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas
kekayaan yang dipisahkan dan diperuntukkan untuk mencapai
tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan,
yang tidak mempunyai anggota.
Berdasarkan Pasal 1653 sampai dengan Pasal 1665 Kitab Undangundang
Hukum Perdata, dapat dike-mukakan bahwa
perkumpulan adalah sekumpulan orang yang secara bersama
sepakat mengadakan kerjasama untuk mencapai suatu tujuan
tertentu (pada umumnya bertujuan nirlaba), yang bentuk dan
caranya diatur di dalam anggaran dasar.
Berdasarkan Staatsbblad 1870/64, anggaran dasar perkumpulan
dapat dimintakan pengesahan kepada Menteri Hukum dan HAM,
sehingga dengan pengesahan itu suatu perkumpulan memiliki
status sebagai badan hukum.
46
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang
Wakaf, nazhir adalah pihak yang menerima harta benda wakaf
dari wakif untuk dikelola dan dikembangkan sesuai dengan
peruntukkannya, dapat berbentuk perseorangan, organisasi, atau
badan hukum. Badan hukum yang dimaksud merupakan badan
hukum yang bergerak di bidang sosial, pendidikan,
kemasyarakatan, dan/atau keagamaan Islam. Sedangkan wakif
adalah pihak yang mewakafkan harta benda miliknya.
Adapun wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan
dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk
dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai
dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau
kesejahteraan umum menurut syariah.
Badan hukum lain yang sejenis antara lain adalah organisasi
kemasyarakatan yang berdasarkan Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan, adalah
organisasi yang dibentuk oleh anggota masyarakat Warganegara
Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kegiatan, profesi,
fungsi, agama, dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa,
untuk berperan serta untuk mencapai tujuan nasional.
Ayat (2)
Penyesuaian ini merupakan upaya untuk menerapkan prinsip
manajemen berbasis sekolah/madrasah untuk BHP Penyelenggara
yang menyelenggarakan pendidikan anak usia dini jalur
pendidikan formal, pendidikan dasar dan menengah, serta prinsip
otonomi perguruan tinggi untuk BHP Penyelenggara yang
menyelenggarakan pendidikan tinggi. Penerapan kedua prinsip
tersebut akan menghasil-kan tatakelola yang baik (good
governance) di semua jenjang pendidikan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 57
Cukup jelas.
Pasal 58
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR...
i
DAFTAR ISI
BAB I ................................................................................................................. 2
KETENTUAN UMUM ........................................................................................... 2
Pasal 1 ..........................................................................................................................2
Pasal 2 ..........................................................................................................................3
Pasal 3 ..........................................................................................................................3
Pasal 4 ..........................................................................................................................3
Pasal 5 ..........................................................................................................................4
BAB II ................................................................................................................ 4
JENIS, BENTUK, PENDIRIAN, DAN PENGESAHAN ............................................... 4
Pasal 6 ..........................................................................................................................4
Pasal 7 ..........................................................................................................................4
Pasal 8 ..........................................................................................................................5
Pasal 9 ..........................................................................................................................5
Pasal 10 ........................................................................................................................6
Pasal 11 ........................................................................................................................6
Pasal 12 ........................................................................................................................6
BAB III .............................................................................................................. 7
TATA KELOLA ................................................................................................... 7
Pasal 13 ........................................................................................................................7
Pasal 14 ........................................................................................................................7
Pasal 15 ........................................................................................................................8
Pasal 16 ........................................................................................................................8
Pasal 17 ........................................................................................................................9
Pasal 18 ........................................................................................................................9
Pasal 19 ........................................................................................................................9
Pasal 20 ......................................................................................................................10
Pasal 21 ......................................................................................................................10
Pasal 22 ......................................................................................................................10
Pasal 23 ......................................................................................................................11
Pasal 24 ......................................................................................................................12
Pasal 25 ......................................................................................................................12
Pasal 26 ......................................................................................................................12
Pasal 27 ......................................................................................................................13
Pasal 28 ......................................................................................................................13
Pasal 29 ......................................................................................................................14
Pasal 30 ......................................................................................................................14
BAB IV ............................................................................................................. 15
KEKAYAAN ...................................................................................................... 15
Pasal 31 ......................................................................................................................15
Pasal 32 ......................................................................................................................15
BAB V .............................................................................................................. 15
PENDANAAN .................................................................................................... 15
Pasal 33 ......................................................................................................................15
Pasal 34 ......................................................................................................................15
ii
Pasal 35 ......................................................................................................................16
Pasal 36 ......................................................................................................................16
Pasal 37 ......................................................................................................................16
Pasal 38 ......................................................................................................................17
BAB VI ............................................................................................................. 17
AKUNTABILITAS DAN PENGAWASAN ................................................................ 17
Pasal 39 ......................................................................................................................17
Pasal 40 ......................................................................................................................17
Pasal 41 ......................................................................................................................18
Pasal 42 ......................................................................................................................18
Pasal 43 ......................................................................................................................18
Pasal 44 ......................................................................................................................19
Pasal 45 ......................................................................................................................19
Pasal 46 ......................................................................................................................19
BAB VII ........................................................................................................... 19
KETENAGAAN .................................................................................................. 19
Pasal 47 ......................................................................................................................19
BAB VIII .......................................................................................................... 20
PENGGABUNGAN ............................................................................................. 20
Pasal 48 ......................................................................................................................20
BAB IX ............................................................................................................ 20
PEMBUBARAN ................................................................................................. 20
Pasal 49 ......................................................................................................................20
Pasal 50 ......................................................................................................................21
BAB X .............................................................................................................. 21
SANKSI ADMINISTRATIF ................................................................................. 21
Pasal 51 ......................................................................................................................21
BAB XI ............................................................................................................ 21
SANKSI PIDANA ............................................................................................... 21
Pasal 52 ......................................................................................................................21
BAB XII ........................................................................................................... 22
KETENTUAN PERALIHAN ................................................................................. 22
Pasal 53 ......................................................................................................................22
Pasal 54 ......................................................................................................................22
Pasal 55 ......................................................................................................................22
Pasal 56 ......................................................................................................................22
BAB XIII .......................................................................................................... 23
KETENTUAN PENUTUP .................................................................................... 23
Pasal 57 ......................................................................................................................23
Pasal 58 ......................................................................................................................23
PENJELASAN ..........................................................................................................25